Salam Waras, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, berada di ambang kehancuran ekologis. Bukan ancaman biasa, tetapi bencana ekologis yang mengerikan mengintai akibat rencana eksplorasi emas PT Trinusa Resources di lahan seluas 11.326 hektar.
Proyek raksasa ini telah memicu perlawanan gigih dari masyarakat yang menolak menjadi korban dari keserakahan perusahaan tambang.
APDESI Kabupaten Sinjai, mewakili suara rakyat yang terancam, menuntut Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, untuk segera menghentikan dan mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Trinusa Resources.
Ini bukan sekadar tuntutan, melainkan teriakan putus asa dari masyarakat yang melihat rumahnya sendiri terancam dibanjiri lumpur beracun, tanahnya tercemar tak bisa ditanami, dan mata airnya mati.
Ketua APDESI, Andi Azis Soi, dengan tegas memperingatkan: jika pemerintah pusat tetap membiarkan proyek ini berjalan, maka siap-siap menghadapi gelombang aksi hukum dan demonstrasi yang tak akan pernah berhenti. Potensi bencana ekologisnya mengerikan: banjir bandang dahsyat yang mengancam menghancurkan Sinjai dan sekitarnya hingga Bulukumba, pencemaran merkuri dan limbah kimia yang akan meracuni tanah dan air minum selama bergenerasi, serta konflik sosial yang siap meletus.
Desakan pencabutan IUP ini didukung oleh landasan hukum yang kuat: Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba, Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Ini senjata hukum yang siap digunakan untuk melawan perusahaan tambang yang rakus.
Kegagalan rapat dengar pendapat (RDP) karena ketidakhadiran perwakilan PT Trinusa Resources dan lambannya respons pemerintah pusat telah memicu kemarahan yang meluap.
Preseden pencabutan izin tambang nikel di Raja Ampat menjadi bukti bahwa pemerintah mampu bertindak tegas. Mengapa Sinjai harus menjadi korban?
Di Desa Terasa, Kecamatan Sinjai Barat, perlawanan rakyat semakin membara. Spanduk penolakan tersebar di mana-mana, menjadi simbol perlawanan terhadap ancaman yang akan menghancurkan tanah adat Butta Panrita Kitta. Andi Rusdi, perwakilan warga, dengan suara bergetar menyatakan:
“Ini tanah adat kami, titipan leluhur! Kami tidak akan membiarkannya dirusak!” Ia menantang pemerintah untuk memilih: berpihak pada rakyat atau pada perusahaan tambang yang haus akan keuntungan?
Pernyataan meremehkan dari anggota DPRD Sulawesi Selatan, Mizar Roem, yang menganggap polemik tambang “tak perlu dihebohkan,” telah menjadi percikan api yang membakar kemarahan.
Ini bukan sekadar polemik, ini adalah perjuangan hidup mati untuk menyelamatkan tanah leluhur dan masa depan generasi mendatang. Aktivis lingkungan, Burhan SJ, menambahkan keprihatinan atas kerusakan lingkungan yang sudah parah akibat tambang ilegal.
Ia mendesak pemerintah untuk bertindak tegas, menghentikan aktivitas tambang ilegal, merehabilitasi lingkungan yang rusak, dan memberikan kompensasi kepada masyarakat terdampak. Sinjai sedang berjuang, dan perjuangan ini membutuhkan dukungan dari seluruh Indonesia.