SALAM WARAS MANADO – Proyek Pembangunan Penataan Kawasan Malalayang (PKM) dan Bunaken Tahap II senilai Rp107,9 miliar kian menjadi sorotan.
Proyek yang dikerjakan PT Wisana Matra Karya (WMK) bersama CV Kasih Karunia (KK) ini tidak kunjung selesai, namun sudah meninggalkan jejak kerusakan serius pada ekosistem mangrove dan terumbu karang di pesisir Pantai Malalayang, Kota Manado.
Aroma korupsi, pengabaian hukum, dan dugaan keterlibatan pejabat daerah semakin kuat. Walikota Manado, Andrei Angouw, disebut-sebut membackup proyek bermasalah tersebut, padahal secara moral dan hukum ia berkewajiban menjadi pengawas dan penjaga kepentingan rakyat serta lingkungan.
Izin Lingkungan Diragukan
Pertanyaan besar muncul: apakah perusahaan kontraktor memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), UKL, UPL, dan izin lingkungan lain yang diwajibkan undang-undang? Fakta di lapangan menunjukkan pengerukan, penimbunan, hingga penghancuran mangrove berlangsung tanpa transparansi dokumen.
Jika terbukti tidak memiliki izin lingkungan, kontraktor bisa dijerat Pasal 98 dan Pasal 109 jo. Pasal 116 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dengan ancaman pidana 2 hingga 10 tahun penjara dan denda Rp2–10 miliar.
Proyek Sarat Masalah
Proyek ini didanai APBN dengan nilai kontrak fantastis Rp107.939.230.400. Namun, pengerjaan dinilai asal-asalan, menimbulkan kerusakan ekosistem, dan belum bisa diresmikan oleh Menteri PUPR.
Ironisnya, lokasi pantai Malalayang dikabarkan sudah “dikapling” untuk kepentingan pengusaha-pengusaha dekat Walikota Andrei Angouw.
Peninjauan proyek oleh Kementerian PUPR pada Januari 2024, yang turut dihadiri Sekretaris Daerah Kota Manado Dr. Micler C.S. Lakat, juga tidak memberi jawaban tegas. Baik pejabat kementerian maupun Pemkot Manado enggan mengklarifikasi dugaan pengerjaan tanpa Amdal.
Amanat Presiden dan Kenyataan di Malalayang
Presiden Joko Widodo pada 15 Mei 2023 menegaskan pentingnya menjaga hutan mangrove:
“Mangrove sangat penting dalam mengembalikan habitat alam hewan maupun tumbuhan. Penanaman kembali hutan mangrove harus terus dilakukan karena selain untuk mengembalikan habitat, mangrove juga melindungi daerah pesisir.”
Namun kenyataan di Malalayang justru sebaliknya: mangrove dihancurkan demi kepentingan proyek, dan pejabat daerah seolah menutup mata.
Sementara itu, Presiden Prabowo Subianto pada 2 Juni 2025 dalam peringatan Hari Lahir Pancasila menekankan:
“Pancasila menuntut kita untuk menjaga keadilan sosial, moralitas, dan persatuan.”
Dan pada Pidato Kenegaraan 15 Agustus 2025, Presiden kembali mengingatkan:
“Kemerdekaan berarti rakyat sejahtera, lingkungan terjaga, dan kedaulatan bangsa kita kuat. Tidak boleh ada praktik yang merampas hak rakyat dan merusak alam negeri ini.”
Kerusakan mangrove Malalayang adalah bukti nyata pengkhianatan terhadap amanat Presiden.
Hukum Harus Tegak
Selain UU No. 32/2009, kontraktor juga bisa dijerat UU No. 41/1999 tentang Kehutanan dan UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dengan demikian, kasus ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan tindak pidana lingkungan yang serius.
Kasus Malalayang adalah ujian bagi penegakan hukum dan integritas pejabat publik. Bila aparat membiarkan pengrusakan ini, maka bukan hanya mangrove yang punah, melainkan juga moralitas pejabat yang memilih berpihak pada kontraktor ketimbang rakyat.