Sambar.id, Manado – Proyek Konstruksi Penataan Kawasan Pantai Malalayang dan Pulau Bunaken Tahap II dengan anggaran negara mencapai Rp107 miliar lebih, kini menuai sorotan publik.
Proyek yang dikerjakan PT Wisana Matrakarya (kontraktor pelaksana), dengan PT Kanta Karya Utama sebagai konsultan pengawas, serta PT Wismakharman sebagai konsultan perencana, diduga sarat praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta meninggalkan jejak kerusakan lingkungan serius.
Hingga kini, pengerjaan proyek tak kunjung rampung 100 persen. Di lapangan, ditemukan banyak kejanggalan: tiang pancang tidak dimasukkan ke dalam tanah, sebagian besar konstruksi tidak sesuai spesifikasi kontrak maupun gambar kerja.
Kondisi ini menguatkan indikasi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 64 KUHP, serta UU No. 31 Tahun 1999 junto UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor, khususnya terkait penyalahgunaan kewenangan yang merugikan keuangan negara.
Lebih ironis, proyek yang digadang-gadang untuk mempercantik kawasan wisata justru mengakibatkan kerusakan ekologis.
Aktivitas kontraktor merusak mangrove, terumbu karang, dan biota laut di kawasan Pantai Malalayang dan Bunaken – yang notabene merupakan ikon konservasi laut dunia.
Padahal, perlindungan pesisir dan laut secara jelas dijamin oleh:
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Pasal 98–99 mengatur sanksi pidana bagi perusak ekosistem).
UU No. 27 Tahun 2007 junto UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang melarang kegiatan merusak mangrove dan terumbu karang.
Pasal 85 UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, yang mengancam pidana bagi badan hukum/perseorangan yang merusak ekosistem laut.Tuntutan Tegas untuk Presiden dan Aparat Hukum
Aktivis lingkungan mendesak Presiden RI Prabowo Subianto segera memerintahkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Kapolda Sulut Irjen Pol Roycke Langie untuk turun tangan.
Penegakan hukum dinilai krusial agar ada efek jera terhadap pihak-pihak yang merusak kawasan konservasi laut kelas dunia.
“Ini bukan sekadar proyek gagal, tapi kejahatan lingkungan. Mangrove, terumbu karang, hingga biota laut dihancurkan tanpa pertanggungjawaban. Presiden harus memerintahkan aparat bertindak tegas,” tegas seorang pegiat lingkungan Sulut.
Nama Pejabat Kunci di Ujung Tanduk
Kepala Balai Prasarana Permukiman Wilayah Sulut Nurdiana Habibie, M.Si., dan Billy Legi selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Ditjen Cipta Karya Kementerian PUPR Sulut, disebut paling bertanggung jawab.
Minimnya pengawasan dan dugaan pembiaran pelanggaran kontrak membuat keduanya terancam dicopot bahkan dijerat pidana.
Publik Sulut menegaskan, kasus ini tidak boleh berakhir sebagai sekadar “proyek mangkrak”. Negara telah kehilangan uang ratusan miliar, masyarakat kehilangan ruang hidup, dan ekosistem laut kehilangan daya pulih.