VOC Ganti Kulit, Kini Dibayangi Sosok Mirip Ladusin — Teluk Bayur: Salam Waras Negeriku

Ketapang, 13 Oktober 2025 —
Empat abad silam, Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) menjadi simbol keserakahan penjajah yang mengeruk kekayaan Nusantara. Kini wajah itu muncul kembali, bukan dengan kapal dagang, melainkan lewat korporasi dan hukum yang tajam ke bawah, tumpul ke atas.

Di Teluk Bayur, Kecamatan Sungai Laur, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, warga menyebut PT Prakarsa Tani Sejati (PTS) sebagai “VOC gaya baru.”
Perusahaan ini dituding menggarap lahan adat tanpa musyawarah, tanpa penghormatan pada hak leluhur, dan tanpa izin HGU yang sah.

Bacaan Lainnya

Nama Ladusin muncul dalam setiap cerita warga.
Ia bukan sekadar orang, melainkan simbol — aparat berwibawa yang datang berseragam rapi, bersepatu mengilap, dan berbicara tenang.
Namun di balik tampilannya, tersimpan dilema: antara menegakkan hukum atau menjaga kepentingan.

Warga menyebutnya seperti tokoh polisi dalam film India — gagah di layar, tapi abu-abu dalam kenyataan.

“Dia datang seperti pahlawan, tapi kita tak tahu siapa yang sebenarnya dia bela,” ujar seorang tokoh adat.

Dalam banyak kasus, Ladusin hadir bukan membawa solusi, melainkan surat tugas dan kekuasaan. Ia menandatangani berkas, bukan kebenaran.
Begitu pula sistem yang menghidupkannya: seolah menegakkan hukum, tapi justru melanggengkan ketimpangan.

Sisi Gelap yang Dibenarkan

Bagi rakyat Teluk Bayur, hukum kini lebih seperti panggung — peran bisa diganti, keadilan bisa ditunda.
Ladusin hanyalah bayangan dari kekuasaan yang bersembunyi di balik kata “legalitas.”

“Dulu penjajah datang dengan kapal dan meriam. Sekarang datang dengan seragam dan surat izin,” ucap seorang warga.

Rakyat kecil tidak sedang melawan individu, tetapi melawan sistem yang membiarkan keserakahan tumbuh di atas penderitaan mereka.

Pidato Presiden, Janji di Udara

Dalam Pidato Kenegaraan 2025, Presiden Prabowo Subianto menegaskan:

“Negara tidak boleh kalah oleh mafia tanah. Penegak hukum harus berpihak pada keadilan, bukan pada kekuasaan.”

Presiden Joko Widodo sebelumnya menyatakan tegas:

“Gebuk mafia tanah! Negara tidak boleh membiarkan rakyatnya dirampas haknya.”

Namun di Teluk Bayur, pidato itu belum menjadi nyata.
Bulldozer masih beroperasi, hukum masih berputar lambat, dan keadilan masih menunggu giliran.

Amanat dari Teluk Bayur

  1. Moral: Jangan jadikan hukum sebagai sandiwara.
  2. Nurani: Kebenaran tidak butuh pangkat, cukup keberanian.
  3. Bangsa: Selama masih ada Ladusin yang menjual integritas, penjajahan belum benar-benar berakhir.

Salam Waras Negeriku

Negeri ini tidak kekurangan hukum, tapi kekurangan kejujuran.
Tidak kekurangan pejabat, tapi kekurangan keberanian.

Sosok Ladusin adalah cermin — wajah bangsa yang gagah di luar, tapi goyah di dalam.

“Kami hanya ingin hidup di tanah kami sendiri, tanpa takut pada seragam dan surat izin,”
tutur seorang warga Teluk Bayur dengan nada pasrah yang berubah jadi tekad.

Salam Waras Negeriku.
Karena waras berarti sadar — dan sadar berarti berani.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *