Takalar, SalamWaras – Kepercayaan publik terhadap Polri diuji hingga titik nadir di Takalar. Bukan hanya lamban, tetapi tiga kasus laporan polisi yang mengantung bertahun-tahun, dua di antaranya melebihi dua tahun mengungkap kegagalan sistemik dan mencoreng citra program “Polri Presisi”.
Lebih parahnya, salah satu pelapor adalah anggota Polri sendiri (Aiptu AM) dan seorang Bhayangkari (SW), membuat kasus ini semakin menggemparkan.
Tiga Laporan, Satu Terlapor, Ratusan Hari Kecewa:
Tiga laporan polisi dengan terlapor sama (HL, diduga rentenir) ini menunjukkan kegagalan sistemik Polri di Takalar:
- Laporan HR: LP/B/245/IX/2024/SPKT/POLRESTAKALAR/POLDASULAWESISELATAN (2 September 2024)
- Laporan Aiptu AM: LP/B/164/VI/2023/SPKT/Polres Takalar Polda Sulawesi Selatan (26 Mei 2023)
- Laporan SW: STTLP/B/264/III/2023/SPKT/POLDASULSEL (23 Maret 2023)
Kasus ini menunjukkan kelemahan yang mendasar. Jika anggota dan keluarga Polri sendiri sulit mendapatkan keadilan, bagaimana dengan masyarakat biasa? Ini bukan sekadar keterlambatan birokrasi, melainkan indikasi kuat adanya pelanggaran kode etik dan penurunan kredibilitas kepolisian.
Presisi? Hanya Slogan Kosong di Takalar?:
Program Polri Presisi, yang menjanjikan penegakan hukum yang prediktif, responsif, transparan, dan berkeadilan, ternyata hanya slogan kosong di Takalar. Keterlambatan berlarutan, ketidakjelasan informasi mengenai perkembangan kasus, termasuk hasil labfor, menunjukkan kurangnya akuntabilitas dan transparansi yang dijanjikan.
Pernyataan Kasat Reskrim Takalar, AKP Hatta, yang mengatakan kasus telah di gelar di Polda dan menunggu hasilnya, justru menambah kegelisahan. Jum’at (09/05/2025).
Apakah ketiga laporan di gelar bersamaan? Kapan pelapor akan mendapatkan informasi resmi? Ketidakjelasan ini memperburuk ketidakpercayaan publik.
Laporan ke Presiden dan Kompolnas:
Ketidakjelasan ini membuat SW mengirim surat permohonan perlindungan hukum kepada Presiden RI, Wakil Presiden, dan lembaga lainnya (1 Maret 2025).
SW mengungkapkan adanya diskriminasi karena laporan yang dimulainya di Polda Sulsel, dengan barang bukti kwitansi yang diduga palsu, justru dilimpahkan dan diproses di tingkat yang lebih rendah (Polres Takalar hingga Polsek Galesong Selatan). Ia menilai penanganan kasusnya tidak profesional.
Respon Kompolnas:
Komisi Kepolisian Republik Indonesia (Kompolnas) telah menerima laporan SW (nomor 325/21/Res/III/2025/Kompolnas) dan telah meminta klarifikasi kepada Kapolda Sulawesi Selatan (surat nomor B-324A/Kompolnas/4/2025, 23 April 2025) untuk menindaklanjuti kasus ini. Namun, hingga saat ini, belum ada kejelasan yang memuaskan.
Lebih dari Keterlambatan: Indikasi Sistem yang Bermasalah:
Ini bukan sekadar keterlambatan birokrasi. Ini adalah penampakan sistem yang bermasalah, yang memungkinkan ketidakadilan merajalela. Kepercayaan publik terhadap kepolisian bergantung pada efektivitas dan transparansi penegakan hukum. Kegagalan Polres Takalar ini merupakan pukulan telak bagi kepercayaan tersebut.
Propam dan DPR RI: Peran Kalian dipertanyakan.
Pengawasan internal (Propam) dan eksternal (DPR RI) harus bertindak tegas. Kasus ini mengingatkan kita pada pentingnya reformasi di tubuh kepolisian. “Polri Presisi” harus menjadi kenyataan, bukan hanya slogan yang menipu publik.
Keadilan dan kepercayaan tidak bisa dibeli dengan janji, tetapi dibangun dengan tindakan nyata. (*)
3 Komentar