Pasal Multitafsir Buka Celah Abuse of Power?, UU Polri Digugat ke MK!

Salam Waras Jakarta, – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menjadi sorotan. Kali ini, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (Polri) digugat. Jum’at (23/05/2025)

Pasal-pasal dalam UU tersebut dinilai multitafsir dan berpotensi melahirkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dalam proses penegakan hukum.

Bacaan Lainnya

Advokat Syamsul Jahidin menjadi penggugat utama dalam perkara nomor 76/PUU-XXIII/2025. Ia menyasar Pasal 16 ayat (1) huruf l dan ayat (2) huruf c, yang dinilai memberikan ruang bagi aparat kepolisian untuk bertindak subjektif.

Frasa “mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab” (Pasal 16 ayat (1) huruf l) dianggap terlalu ambigu, sehingga berpotensi memicu tindakan di luar prosedur hukum formal dengan dalih tanggung jawab.

Hal ini, menurut Syamsul, menciptakan “chilling effect” bagi masyarakat.

Lebih tajam lagi, gugatan menyoroti Pasal 16 ayat (2) huruf c (“harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya”).

Syamsul berpendapat, frasa “patut dan masuk akal” bersifat subjektif dan dapat menjustifikasi tindakan oknum polisi meskipun tidak sesuai prinsip profesionalisme, proporsionalitas, dan akuntabilitas.

“Pasal ini membuka pintu bagi praktik otoritarianisme, ketidaktransparanan, dan tindakan koersif yang hanya dibenarkan secara internal oleh institusi kepolisian,” tegasnya.

Gugatan ini diperkuat dengan data kekerasan dan penangkapan sewenang-wenang yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir.

Data tahun 2019, misalnya, mencatat 68 kasus kekerasan dalam penanganan demonstrasi, 3.539 korban penangkapan sewenang-wenang, 326 korban penahanan sewenang-wenang, dan 474 korban penyiksaan.

Tidak hanya itu, Pasal 11 ayat (2) UU No 2/2002 yang mengatur usulan pengangkatan dan pemberhentian Kapolri juga menjadi sasaran gugatan dalam perkara nomor 78/PUU-XXIII/2025. Kali ini, pemohonnya adalah Syamsul Jahidin dan Ernawati, seorang Bhayangkari yang viral di TikTok dengan tagar #percumalaporpolisi.

Ernawati mencari keadilan atas kematian kakaknya yang diduga tewas akibat penyiksaan polisi. Ia menilai pasal tersebut harus dirumuskan lebih jelas dalam batang tubuh UU.

Majelis hakim MK memberikan waktu hingga 4 Juni 2025 kepada para pemohon untuk memperbaiki berkas gugatan.

Sidang ini menjadi momentum penting bagi reformasi kepolisian dan penegakan hukum yang lebih berkeadilan di Indonesia.

Publik menantikan putusan MK yang diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan melindungi hak-hak asasi warga negara. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *