Janji Kopdeskel Tertutup Bayang-Bayang Ketidakadilan dan Arogansi Hukum di Takalar

Salam Waras Sulsel – Pemerintah Indonesia gencar membangun 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdeskel) Merah Putih sebagai solusi atas permasalahan ekonomi desa yang stagnan.

Dengan PDB desa hanya 14% dari PDB nasional, Kopdeskel diharapkan menjadi lokomotif perubahan, menangani masalah harga jual komoditas yang rendah, minimnya lapangan kerja, akses kesehatan yang buruk, serta merajalelanya pinjol ilegal.

Bacaan Lainnya

Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi optimistis Kopdeskel akan menciptakan 2 juta lapangan kerja baru dan menghidupkan perekonomian pedesaan.

Program ini menjanjikan pemberantasan tengkulak, penguatan distribusi lokal, dan akses kredit yang terjangkau.

Namun, janji tersebut kontras dengan realita di lapangan, seperti yang dialami oleh seorang Ibu Bhayangkari di Takalar, Sulawesi Selatan.

Ia dilaporkan oleh seorang rentenir atas dugaan pinjaman Rp 40 juta dan penjamian mobil, padahal yang sebenarnya hanya meminjam Rp 10 juta.

Kasus ini mengungkap manipulasi dokumen dan dugaan pemalsuan (Pasal 263, 266, dan 378 KUHP).

Lebih ironis lagi, laporan balik Ibu Bhayangkari SW atas dugaan pemalsuan tersebut justru diabaikan, sementara laporan rentenir berlanjut hingga penetapan tersangka.

inisial SW, yang ditahan atas dugaan penipuan dan penggelapan. Keluarga SW membantah tuduhan tersebut, mengatakan bahwa bukti-bukti yang digunakan tidak sah dan ada yang hilang.

Penahanan SW, yang dilakukan dalam kondisi sakit, meningkatkan kecurigaan adanya ketidakadilan dalam proses hukum.

Kasus SW, menunjukkan ketidakkonsistenan dan lambannya proses hukum, yang berlangsung hingga dua tahun tanpa kepastian.

Meskipun Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah menginstruksikan transformasi kepolisian menuju “presisi” (prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan), kenyataannya, proses hukum di Polres Takalar justru mempertanyakan komitmen terhadap transparansi dan keadilan.

Terkait dengan hasil labfor atas barang bukti yang dipertanyakan keasliannya, belum ada kejelasan informasi.

Kejadian ini menggarisbawahi tantangan besar dalam mewujudkan janji Kopdeskel dan memastikan keadilan bagi semua lapisan masyarakat, terutama di daerah pedesaan.

Permasalahan ini mendesak adanya reformasi menyeluruh dalam sistem penegakan hukum untuk mewujudkan keadilan yang hakiki.

Sidang Kasus SW: Klaim “Iba” Bentrok dengan Bukti “Bunga”

Persidangan kasus SW (istri anggota polisi) di PN Takalar menghadirkan kejanggalan yang menarik perhatian. Saksi utama, HH (yang diduga rentenir), menyatakan memberikan pinjaman kepada SW secara cuma-cuma karena iba.

“Iya, Yang Mulia, saya kasih pinjam uang secara cuma-cuma karena iba,” ungkapnya. Kamis 22 Mei 2025

Namun, pernyataan ini langsung dibantah oleh sejumlah warga yang hadir dalam persidangan.

“Bukan rentenir tawwa, tapi kasih bunga uang,” teriak mereka serentak, menunjukkan adanya bunga dalam transaksi tersebut.

Fakta bahwa pinjaman Rp 10 juta membengkak menjadi Rp 40 juta semakin memperkuat dugaan praktik rentenir.

Keterangan saksi lain semakin memperumit kasus ini. Saksi DL (bibi HH) membenarkan penjualan mobil DD 1021 AR miliknya kepada SR (bukan SW), Senin (26 Mei 2025)

Sementara saksi SS dan NR mengungkapkan pengalaman mereka sebagai korban HH dengan bunga pinjaman yang sangat tinggi, menunjukkan modus operandi HH yang sistematis.

Ketidaksesuaian keterangan antara HH dengan saksi lain serta warga yang hadir dalam persidangan menimbulkan pertanyaan besar mengenai kredibilitas kesaksian HH dan kemungkinan adanya upaya manipulasi fakta.

Kasus ini menunjukkan betapa rumitnya mengungkap kebenaran di balik klaim “iba” yang bertolak belakang dengan bukti-bukti “bunga” yang cukup kuat. Persidangan ini patut dipantau ketat untuk memastikan keadilan ditegakkan.

Sebelumnya, kesaksian HH yang mengklaim pinjaman cuma-cuma kepada SW langsung dibantah warga dan saksi lain.

Seorang Pengacara Asal Makassar Meremehkan

Pinjaman Rp 10 juta yang membengkak menjadi Rp 40 juta, serta kesaksian tentang bunga tinggi, membuktikan praktik riba.

Pengacara HH sendiri, dalam konfirmasi sebelumnya, secara tidak langsung mengakui praktik riba ini.

Pernyataan, “Sy tanya Anda, ngambil duit orang ga dibalikin dlm ilmu Agama apa namanya? Halal ga itu makan duit org ga dibalikin…”, menunjukkan pemahaman akan pelanggaran hukum dan agama yang dilakukan kliennya.

Namun, yang lebih mengejutkan adalah pernyataan pengacara HH yang meremehkan pihak pelapor yang merupakan anggota Bhayangkari.

“Ga ada waktu sy meladenin hal2 kecil begitu, buang2 waktu, sakit jempol,” ujarnya. Senin 10 maret 2025.

Pernyataan ini menunjukkan sikap arogansi dan merasa berkuasa, bahkan menganggap anggota Bhayangkari sebagai pihak yang tidak penting.

Pernyataan “Apalgi kasus oknum polisi dan oknum bhayangkari kecilll ngapain dipusingi rugiii” semakin memperjelas pandangan meremehkan tersebut. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *