Bangka Belitung, Salam Waras – Rapat Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Babel bersama DPRD dan PT Timah Tbk, Selasa (30/9/2025) di Kantor Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, menyisakan tanda tanya besar.
Isu utama mengemuka terkait penetapan harga imbal jasa timah yang dipaparkan Direktur Operasi Produksi PT Timah, Nur Adi Kuncoro, di hadapan peserta rapat.
Selain membahas tata kelola niaga timah, rapat juga menyinggung pengamanan aset perusahaan oleh Satgas Nanggala serta mekanisme pembelian bijih timah dari penambang melalui mitra usaha.
Dalam forum itu, PT Timah menetapkan harga imbal jasa sebesar Rp260 ribu per kilogram timah kadar 100% Sn. Gubernur Babel Hidayat Arsani mengklaim keputusan ini merupakan hasil kesepakatan bersama.
“Jadi tadi sudah kita sepakati bersama PT Timah. Tidak ada lagi penangkapan masyarakat oleh Satgas Timah, dan harga naik di angka Rp260 ribu per kilogram. Saya berharap tidak perlu lagi ada demo-demo, semua sudah kami urus,” ujar Hidayat, didampingi Ketua DPRD Babel, Didit Srigusjaya.
Penambang Nilai Harga Justru Merugikan
Namun pernyataan tersebut menuai respons sinis dari penambang. Mereka menilai harga Rp260 ribu/kg untuk kadar 100% Sn justru lebih rendah dibandingkan skema sebelumnya.
Seorang penambang yang enggan disebut namanya menegaskan:
“Kalau 100% Sn dihargai Rp260 ribu/kg, kami hanya dibayar Rp180 ribu/kg untuk kadar 70% kering. Padahal sebelumnya masih Rp220–230 ribu/kg. Apakah Pak Gubernur tidak paham? Selama ini mitra memotong pajak, bunga bank, biaya penurunan kadar, fee CV, dan lain-lain. Jadi yang paling ditekan tetap penambang.”
Keluhan lain muncul terkait sistem pembayaran. Penambang harus menyetor minimal 500 kg bijih timah kadar 70% ke gudang PT Timah.
Setelah diuji laboratorium, baru bisa dibuat invoice. Proses itu memakan waktu lebih dari dua minggu, padahal biaya operasional ditanggung penambang secara harian.
Dampak Ekonomi Lokal
Jika harga yang dianggap “murah” ini tetap diberlakukan, dampaknya bisa meluas ke ekonomi lokal.
Ribuan penambang rakyat di Bangka Belitung yang menggantungkan hidup pada tambang timah terancam kehilangan penghasilan layak.
Rantai pasok lokal seperti penyedia alat berat, solar, transportasi, hingga warung-warung kecil di sekitar lokasi tambang ikut terpukul karena berkurangnya daya beli penambang.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari aktivitas ekonomi turunan juga berpotensi menurun, meskipun secara formal PT Timah masih menyumbang pajak dan royalti.
Sementara itu, risiko sosial berupa maraknya tambang ilegal dan konflik horizontal antara penambang rakyat dengan aparat keamanan bisa meningkat, karena masyarakat mencari cara lain untuk menutup kerugian.
Pengamat ekonomi lokal menilai kebijakan harga ini berpotensi memicu instabilitas sosial-ekonomi jika tidak segera dikaji ulang.
“Kebijakan harga timah tidak hanya soal angka, tapi soal keadilan ekonomi. Kalau penambang rakyat terus ditekan, gejolak sosial bisa lebih besar dari sekadar demo,” ujar seorang akademisi dari Universitas Bangka Belitung.
Masyarakat Pesimis, Demo di Depan Mata
Percakapan di berbagai grup WhatsApp penambang memperlihatkan pesimisme mendalam. Banyak yang menyebut keputusan PT Timah tidak menaikkan harga, melainkan menurunkannya secara halus. Dengan formulasi Rp260 ribu/kg kadar 100% Sn, imbal jasa ke penambang diperkirakan semakin kecil.
“Biaya operasional, kompensasi masyarakat, dan pembebasan lahan tambang darat harus kami tanggung. Dengan skema baru ini, makin dicekiklah penambang rakyat,” ujar salah satu sumber.
Sampai saat ini, media masih menunggu keterangan resmi dari Humas PT Timah terkait daftar harga imbal jasa. Namun ketidakpuasan penambang sudah meluas, dan rencana aksi unjuk rasa besar-besaran di Kantor Pusat PT Timah pada Senin (6/10/2025) disebut semakin tak terhindarkan.