Salam Waras Bangka – Krisis izin operasional ponton isap produksi (PIP) di Puri Ansell, Bangka, menimpa para penambang.
Meskipun telah memenuhi proses verifikasi, mereka kesulitan mendapatkan Surat Perintah Kerja (SPK) dan silo.
Ketidakjelasan ini menimbulkan ancaman hukum dan kerugian ekonomi yang signifikan.
Penambang telah menginvestasikan sumber daya besar untuk memenuhi persyaratan administrasi, namun proses penerbitan SPK dan penetapan kuota dinilai tidak transparan dan efisien.
Penertiban pada 20 Mei 2025 lalu memaksa sejumlah penambang menghentikan operasi karena ketidakjelasan status legalitas mereka.
Situasi diperparah oleh aktivitas ponton lain di lokasi yang sama, memunculkan pertanyaan tentang kepatuhan terhadap regulasi.
Perbedaan antara klaim jumlah unit yang beroperasi sesuai SPK dan data lapangan semakin memperkuat dugaan adanya pelanggaran.
Para penambang menuntut transparansi dan keadilan dalam penerapan prosedur. Mereka meminta peninjauan ulang proses legalisasi dan distribusi izin untuk menjamin kesetaraan dan kepastian hukum.
Hingga saat ini, PT Timah dan instansi terkait masih bungkam. Upaya konfirmasi terus dilakukan untuk mendapatkan informasi lengkap, termasuk dari pengawas tambang PIP laut Sungailiat.
Namun, pertanyaan besar tetap menggantung: siapakah yang bertanggung jawab atas kerugian yang dialami para penambang ini akibat regulasi yang dianggap amburadul?