Jakarta — Nama Adrian Herling Waworuntu, yang kini dikenal publik sebagai salah satu komisaris PT Aditarina, ternyata menyimpan rekam jejak kelam dalam sejarah kejahatan perbankan nasional.
Ia pernah menjadi tokoh sentral dalam kasus pembobolan kas Bank BNI Cabang Kebayoran Baru melalui Letter of Credit (L/C) fiktif yang merugikan negara hingga Rp 1,7 triliun.
Awal Mula Skandal
Dikutip berbagai sumber dan jejak digital diberbagai media, Kasus ini bermula pada Oktober 2002 hingga Juli 2003, ketika Adrian Herling Waworuntu bersama Maria Pauline Lumowa—pemilik PT Gramarindo Group—mengajukan 41 L/C fiktif seolah-olah telah melakukan ekspor bernilai tinggi.
BNI pun mencairkan pinjaman dalam mata uang dolar AS dan euro senilai total Rp 1,2 triliun.
Skema ini dijalankan melalui sejumlah perusahaan fiktif di bawah kendali Adrian dan Maria, dengan dukungan internal bank yang ikut memperlancar proses pencairan dana.
Komplotan dan Modus Operandi
Dalam praktiknya, Adrian Waworuntu berperan sebagai pengendali transaksi dan penerbit dokumen ekspor palsu.
Maria Pauline Lumowa mengatur jaringan luar negeri sebagai penerima fiktif. Beberapa pejabat BNI Cabang Kebayoran Baru turut membantu memuluskan transaksi L/C tersebut.
Uang hasil pencairan digunakan untuk memperluas bisnis pribadi, membeli aset, dan memutar dana lewat sejumlah perusahaan yang kemudian diketahui berafiliasi dengan Gramarindo Mega Indonesia.
Pelarian dan Penangkapan
Setelah kasus ini terbongkar, Adrian sempat buron selama 1,5 bulan sebelum ditangkap di Sumatera Utara pada 22 Oktober 2004.
Sementara Maria Pauline Lumowa berhasil melarikan diri ke Singapura lalu menjadi warga negara Belanda.
Upaya ekstradisi terhadap Maria sempat berlarut-larut hingga akhirnya ia ditangkap NCB Interpol Serbia di Bandara Nikola Tesla, Beograd, 16 Juli 2019, setelah 17 tahun buron.
Vonis Seumur Hidup
Pada persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (2005), majelis hakim menyatakan Adrian Waworuntu terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang.
Ia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, denda Rp 1 miliar, dan diwajibkan mengembalikan Rp 300 miliar.
Hakim menilai tindakannya merusak kepercayaan investor terhadap sistem perbankan nasional serta menimbulkan sentimen negatif pada pasar modal Indonesia.
Keterkaitan dengan PT Aditarina
Meski telah divonis berat, nama Adrian belakangan kembali mencuat setelah tercatat menduduki posisi komisaris di PT Aditarina.
Keberadaannya di lingkar perusahaan tersebut menimbulkan tanda tanya publik, mengingat rekam jejak hukumnya yang panjang dan dampaknya yang luas bagi perekonomian nasional.
Informasi ini memunculkan dugaan bahwa jaringan lama korporasi yang pernah terlibat dalam kasus serupa berpotensi bertransformasi lewat struktur baru, termasuk lewat perusahaan-perusahaan dengan kepemilikan tidak langsung.
Namun demikian, hingga berita ini diterbitkan, belum ada konfirmasi resmi dari pihak PT Aditarina maupun otoritas terkait mengenai keterlibatan Adrian dalam kegiatan operasional perusahaan.
Warisan Skandal dan Dampak Sistemik
Kasus BNI Rp 1,7 triliun menjadi pelajaran penting tentang lemahnya pengawasan internal bank dan kompleksitas white-collar crime di Indonesia.
Sebanyak 16 orang telah divonis dalam perkara ini, termasuk pejabat bank, pemilik perusahaan, dan pihak swasta.
Kasus tersebut juga menjadi dasar penguatan sistem pengawasan kredit ekspor dan prosedur verifikasi L/C di seluruh perbankan nasional.