Keadilan Mati di Meja Kekuasaan?, Salam Waras Bisa Jadi Solusi!

Jakarta — SalamWaras – Keadilan, dalam banyak meja kekuasaan di negeri ini, sering kali mati bukan karena kehilangan hukum, tetapi karena kehilangan nurani.

Undang-undang masih ada, lembaga hukum berdiri megah, tapi jiwa keadilannya sering terkubur oleh kepentingan.

Bacaan Lainnya

Di sinilah Salam Waras jadi Solusi— bukan sekadar media, tapi suara dari akar rumput yang menolak tunduk pada kezaliman yang dilembagakan.

Ketika Hukum Menjadi Barang Dagangan

Sudah terlalu sering kita mendengar kalimat yang menyakitkan tapi nyata: “Urusan hukum bisa diselesaikan asal ada uang.” Kalimat itu adalah cambuk bagi bangsa ini, bukti bahwa sistem telah lama busuk.

Keadilan yang seharusnya berpihak pada yang benar, kini berlutut pada yang berduit. Dalam ruang gelap inilah muncul suara dari kampung: dari pelosok Sulawesi Selatan.

Ia datang bukan membawa modal besar atau koneksi elit, melainkan membawa nurani yang tak bisa dibeli.

Ia juga menolak tunduk pada budaya transaksional yang menjadikan hukum sebagai komoditas, dan keadilan sebagai proyek.

“Keadilan bukan barang dagangan, tapi api perjuangan yang membakar nurani,” ujarnya suatu waktu.

“Selama masih ada yang berani bicara, keadilan belum benar-benar mati.”

Luka yang Melahirkan Kewarasan

Salam Waras bukan lahir dari kemewahan, tapi dari luka. Dari diskriminasi, kriminalisasi, dihina, difitna dan caci maki yang diterimananya dan dua ibu Bhayangkari yang berjuang bersamanya melawan ketidakadilan.

Dari jeruji besi yang membungkam tubuh, tapi tak bisa membungkam pikiran.

Dari luka itu lahirlah gagasan: “Berpikir Sehat, Berbicara Waras.” motto “No Viral No Justice” Sebuah ajakan moral agar bangsa ini kembali menggunakan akal sehat, bukan kekuasaan buta.

“Banyak orang pintar, tapi tidak semua waras. Kalau kehilangan kewarasan, maka kekuasaan berubah jadi keserakahan,” katanya

Menolak Tunduk pada Sistem Busuk

Salam Waras berdiri di tengah badai, mengawal isu-isu yang sering ditinggalkan media besar:
penyerobotan lahan transmigran eks-Timor Timur di Luwu Timur, dugaan korupsi dana pinjaman daerah Sinjai, Rencana tambang PT Trinusa,
skandal PT Timah di Bangka Belitung, Kasus Penggeledahan di Jabar tampa surat ijin dari PN Setempat, hingga proyek Bandara Sam Ratulangi yang dibekingi kekuasaan.

Kini, ia juga mengawal kasus dugaan mafia tanah di Makassar, yang melibatkan pihak kuat karena diduga pelakunya tersandung kasus pebobolan Rp 1,7 triliun bank BNI.

Di balik semua itu, ada keberanian seorang rakyat biasa melawan struktur yang menindas.

Amanat Presiden Prabowo: Negara Tak Boleh Kalah dari Ketidakadilan

Presiden Prabowo Subianto berulang kali menegaskan bahwa negara ini tidak boleh kalah oleh ketidakadilan dan kerakusan.

Dalam beberapa amanatnya, Prabowo menekankan bahwa pemerintah harus berpihak pada rakyat kecil, melindungi hak mereka atas tanah, pendidikan, dan pekerjaan yang layak.

“Negara ini tidak boleh dikuasai oleh segelintir orang yang memperkaya diri sendiri,” ujar Presiden Prabowo dalam salah satu pidatonya.

“Kita harus tegakkan keadilan yang sebenar-benarnya. Rakyat kecil harus merasakan negara hadir, bukan hanya saat kampanye, tapi setiap hari.”

Presiden juga mengingatkan aparat penegak hukum agar tidak mempermainkan nasib rakyat:

“Jangan main-main dengan hukum. Kalau hukum diperdagangkan, negara ini akan hancur.
Keadilan harus tegak, tanpa pandang bulu — kepada yang kuat maupun yang lemah.”

Amanat itu seolah menjadi roh perjuangan yang dihidupkan kembali oleh Salam Waras: menjadi jembatan antara suara rakyat dan nurani negara, antara luka rakyat dan tanggung jawab kekuasaan.

Ketika Nurani Jadi Kompas

Jaksa Agung Prof. ST Burhanuddin pernah berkata: “Gunakan nuranimu — apakah perkara ini layak dilanjutkan, diringankan, atau diperberat.”

Pernyataan itu menjadi pengingat keras: hukum tanpa nurani adalah senjata buta.

Dia memahami itu betul.
Ia percaya, keadilan yang hanya berlandaskan teks hukum tanpa jiwa kemanusiaan adalah keadilan yang mati.

“Kalau keadilan tidak ditemukan di istana kekuasaan, maka kita gali dari hati rakyat,” tegasnya.

“Karena keadilan sejati lahir dari nurani, bukan dari meja perundingan kekuasaan.”

Harapan Baru: Dari Kampung untuk Republik

Kini, suara kecil dari kampung itu menggema hingga ke pusat negeri. Presiden Prabowo Subianto memberi ruang bagi rakyat untuk bicara, mendorong agar masyarakat aktif mengkritik, melapor, dan memviralkan ketidakadilan.

“Kalau rakyat diam, negara tidak bisa berubah. Tapi kalau rakyat bersuara, itu tandanya bangsa ini masih hidup,” ujar Presiden Prabowo.

Bagi Dzoel, ini adalah titik balik harapan baru.
Ketika pemerintah membuka ruang untuk kritik, maka rakyat punya kesempatan menjaga kewarasan bangsa.

Epilog: Kewarasan Sebagai Perlawanan

Keadilan boleh mati di meja kekuasaan, tapi kewarasan tidak boleh ikut mati di hati rakyat.

Salam Waras adalah nyala kecil dari kampung yang menolak padam.

Ia hidup di antara keterbatasan, berdiri di atas kejujuran, dan bergerak dengan keyakinan bahwa nurani tak bisa dipenjara.

“Ejapi na Doang, kualleangi tallanga na toalia” — Bertindak nyata, bukan sekadar berkata-kata.

Selama masih ada yang berpikir sehat dan berbicara waras, maka keadilan — betapapun kecil nyalanya — akan terus hidup.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *