Bangka, Salam Waras — Organisasi Masyarakat Laskar Merah Putih (LMP) Kabupaten Bangka menegaskan kembali sikapnya terhadap persoalan pertambangan yang kian memanas di wilayah perkebunan PT. Gunung Maras Lestari (GML) yang tumpang tindih dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik PT. Timah Tbk. Minggu (12/10/2025)
Sebagaimana diketahui, pada 30 September 2025, LMP Bangka telah melayangkan surat resmi Nomor: 010/MACAB-BANGKA/LMP/IX/2025 kepada PT. GML untuk mengajukan audiensi dan silaturahmi.
Tujuannya adalah menjembatani kepentingan masyarakat desa, perusahaan pemegang Hak Guna Usaha (HGU), dan PT. Timah Tbk selaku pemegang IUP, agar ditemukan solusi damai atas konflik sosial-ekonomi di lapangan.
Namun, pada 9 Oktober 2025, PT. GML melalui surat balasan Nomor: 168/GML/LMP/X/2025 menolak kehadiran LMP Bangka dalam proses komunikasi tersebut. LMP menilai sikap itu justru berpotensi memperlebar jarak dan memperkeruh suasana di tengah masyarakat yang kini mulai resah.
Sebagai respons cepat, LMP Bangka melayangkan surat ke DPRD Kabupaten Bangka (Nomor: 011/MACAB-BANGKA/LMP/X/2025) untuk memohon mediasi dan pemanggilan semua pihak terkait — mulai dari PT. GML, PT. Timah Tbk, instansi teknis, aparat penegak hukum (APH), hingga perwakilan masyarakat dari delapan desa yang terdampak langsung aktivitas di kawasan tersebut.
Dasar Hukum dan Kewajiban Sosial Perusahaan
Langkah yang ditempuh LMP Bangka memiliki dasar hukum kuat, sebagaimana diatur dalam:
- Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba)
Pasal 139 ayat (1): Pemegang IUP wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan di wilayah operasinya.
Pasal 136 ayat (2): Pemegang IUP wajib melakukan pemberdayaan masyarakat sekitar wilayah tambang secara berkelanjutan.
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan
Pasal 68 ayat (1): Pelaku usaha wajib meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar dan menjaga kelestarian lingkungan.
Pasal 72 ayat (2): Pemegang HGU wajib menghormati hak-hak masyarakat lokal dan adat yang telah ada sebelumnya.
- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)
Pasal 65 ayat (1): Setiap warga berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berperan aktif dalam perlindungannya. - Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Kaidah Pertambangan yang Baik,
yang mewajibkan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan sosial, ekonomi, dan lingkungan di wilayah tambang. - Perda Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 1 Tahun 2023 tentang RTRW Provinsi,
yang menjadi dasar sinkronisasi tata ruang antara kawasan HGU dan IUP, agar tidak saling tumpang tindih.
Sikap LMP: Suara Rakyat yang Ingin Dilibatkan
Sekretaris LMP Bangka, Ryan Fabryan Taufani, didampingi Ketua Ary Sofyan, menegaskan bahwa langkah mereka bukan sekadar reaksi politik, melainkan bentuk kepedulian terhadap nasib masyarakat desa yang merasa kehilangan ruang hidup di tanah kelahiran mereka sendiri.
“Kami hadir bukan untuk memihak siapa pun, tapi membawa aspirasi masyarakat agar mereka dilibatkan, diberi ruang mencari penghidupan, dan dihormati haknya. Perusahaan besar harus membuka dialog, bukan menutup pintu,” tegas Ryan.
Ia juga menyinggung aksi protes warga Desa Sempan (11 Oktober 2025) di kawasan Kepala Burung sebagai sinyal kuat bahwa kesabaran masyarakat sudah menipis.
“Aksi itu adalah bentuk kegelisahan rakyat yang ingin bekerja di tanahnya sendiri. Bila tidak difasilitasi dengan cepat, potensi konflik sosial bisa meluas dan merugikan semua pihak,” tambahnya.
Amanat Presiden RI: Kekayaan Alam untuk Kemakmuran Rakyat
Dalam Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia pada Sidang Tahunan MPR-DPR-DPD RI, 15 Agustus 2025, Presiden menyampaikan amanat penting:
“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Amanat konstitusional tersebut menegaskan bahwa setiap aktivitas tambang dan perkebunan harus berpihak kepada kesejahteraan rakyat, bukan hanya pada kepentingan korporasi. Presiden juga mengingatkan pentingnya pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan, berkelanjutan, dan ramah lingkungan.
Dalam sejumlah rapat terbatas, termasuk Ratas 9 Maret 2017 tentang Penghapusan Merkuri pada Tambang Rakyat, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa pertambangan rakyat harus dijalankan tanpa merusak lingkungan dan kesehatan masyarakat, dengan prinsip tata kelola bersih dan berkeadilan.
Sementara itu, Presiden Prabowo Subianto, dalam arahannya 9 Oktober 2025 di Raja Ampat, menegaskan perlunya evaluasi seluruh izin tambang bermasalah, menekankan bahwa negara tidak boleh membiarkan izin yang menimbulkan konflik sosial, kerusakan lingkungan, atau ketimpangan ekonomi.
“Negara hadir untuk memastikan kekayaan alam dikelola dengan adil. Tidak boleh ada rakyat yang menjadi korban di tanahnya sendiri,” tegas Presiden Prabowo dalam pidatonya.
Amanat ini menjadi dasar moral bagi DPRD, pemerintah daerah, dan korporasi di Bangka untuk menjadikan kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan utama pengelolaan tambang dan perkebunan.
Dampak Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan
Sosial: Potensi konflik horizontal antarwarga meningkat akibat perebutan lahan dan akses ekonomi.
Ekonomi: Masyarakat kehilangan sumber penghasilan, sementara perusahaan terancam kehilangan dukungan sosial dan stabilitas produksi.
Lingkungan: Ketidakterpaduan antara kegiatan HGU dan IUP berisiko menimbulkan kerusakan ekosistem, sedimentasi sungai, serta pencemaran air dan tanah.
Dukungan LMP untuk Pola Kemitraan Tambang Rakyat
LMP Bangka menilai PT. Timah Tbk telah mengambil langkah strategis dengan membuka pola kemitraan tambang rakyat di bawah pengawasan resmi perusahaan, sebagai contoh implementasi tanggung jawab sosial dan ekonomi nasional.
“Langkah Dirut PT. Timah, Bapak Restu Widiyantoro, membuka ruang kemitraan rakyat adalah contoh konkret bahwa tambang bisa dijalankan dengan cara elegan, legal, dan berpihak pada rakyat,” ujar Ryan.
LMP mendesak DPRD Kabupaten Bangka, khususnya Komisi II, untuk segera menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang melibatkan semua pihak, mengevaluasi izin-izin tumpang tindih, dan memastikan semua aktivitas berjalan sesuai hukum, transparan, dan berpihak pada rakyat kecil.
“Kami ingin semua elemen bersatu — pemerintah, DPRD, PT. Timah, dan masyarakat — untuk menegakkan amanat konstitusi bahwa kekayaan alam harus menyejahterakan rakyat, bukan menimbulkan konflik,” pungkas Ryan.
Reporter: MA