Bangka Belitung – Nama Agat kembali mencuat ke permukaan. Mantan terdakwa kasus tindak pidana korupsi (Tipikor) 73 ton bijih timah bercampur slag yang pada 25 Mei 2021 divonis bebas oleh majelis hakim PN Pangkalpinang, kini kembali jadi sorotan.
Pada Selasa malam, 30 September 2025, tim penyidik Kejaksaan Agung RI bersama aparat terkait melakukan penyegelan dan penyitaan aset Agat berupa rumah mewah di Desa Puput, Parit 3, Kecamatan Jebus, Kabupaten Bangka Barat. Rumah bernilai Rp15–20 miliar itu diduga kuat hasil dari aktivitas timah ilegal yang selama ini ia kelola.
Agat dikenal sebagai salah satu pendiri CV MBS, mitra PT Timah, sekaligus penampung timah terbesar di wilayah Jebus. Ia disebut masuk dalam tiga besar “bigbos timah” bersama nama lain seperti Ahn dan Akm.
Penyitaan ini berkaitan dengan penyidikan kasus tata niaga timah nasional dan dugaan korupsi oleh lima korporasi smelter dengan estimasi kerugian negara mencapai Rp300 triliun. Dari jaringan tersebut, Agat diduga berperan sebagai kolektor timah ilegal yang ikut melanggengkan penyelundupan timah ke luar pulau.
Warga sekitar yang enggan disebut namanya menilai langkah Kejagung sudah tepat.
“Rumah itu memang sangat mencolok. Kami sering bertanya-tanya dari mana asal kekayaan sebesar itu. Kalau memang benar dari timah ilegal, ya wajar sekarang disegel. Semoga tidak ada lagi yang seenaknya merusak negeri ini,” ujar seorang warga Parit 3.
Seorang mantan karyawan PT Timah juga ikut angkat bicara.
“Kami dulu kerja susah payah demi perusahaan, tapi ada orang-orang yang justru main di belakang. Kalau dibiarkan, citra PT Timah hancur dan negara terus dirugikan. Saya berharap kasus ini dibongkar tuntas,” ungkapnya.
Dampak Sosial-Ekonomi Timah Ilegal
Aktivitas timah ilegal tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga menimbulkan luka sosial dan lingkungan di Bangka Belitung. Ribuan pekerja tambang rakyat sering kali dijadikan tameng oleh para bos besar untuk melancarkan bisnis haram ini.
Ekonomi masyarakat kecil justru semakin rapuh. Banyak warga bekerja dengan risiko keselamatan rendah di tambang tanpa izin, tanpa jaminan kesehatan, dan upah tidak sebanding dengan keuntungan besar yang dinikmati para kolektor.
“Kami hanya buruh di tambang, penghasilan tidak seberapa, kadang sehari cuma cukup buat makan. Sementara bos-bos timah bisa bangun rumah mewah. Ketidakadilan inilah yang bikin kami geram,” kata seorang warga Jebus yang juga enggan disebut namanya.
Dari sisi lingkungan, bekas tambang yang tidak direklamasi menimbulkan kerusakan ekosistem, merusak lahan perkebunan, hingga mencemari sumber air masyarakat. Kondisi ini membuat sebagian petani kehilangan mata pencaharian.
“Dulu lahan kebun lada kami subur, tapi sekarang banyak tercemar. Air sumur pun sudah berubah warna karena bekas tambang. Ini dampak nyata dari bisnis timah ilegal,” keluh seorang petani lokal.
Kilas Balik: Kasus 73 Ton Timah Bercampur Slag (2021)
Kasus Agat bukan pertama kalinya menyita perhatian publik. Pada 25 Mei 2021, ia bersama terdakwa lain, Ali Samsuri (pejabat PT Timah) dan Tajudi (Direktur CV MBS), divonis bebas oleh PN Pangkalpinang.
Sidang yang dipimpin Hakim Efendi itu membebaskan ketiganya dari dakwaan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor, sebagaimana diubah UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Padahal, Jaksa Penuntut Umum kala itu menuntut Agat cs dengan hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Benny Harkat mengaku kecewa berat atas putusan bebas tersebut.
“Kami sangat kecewa. Semua bukti sudah kami hadirkan, termasuk keterangan ahli, tetapi majelis hakim menilai lain. Putusan ini jelas mengecewakan kami sebagai penuntut umum,” kata Benny usai persidangan saat itu.
“Sejujurnya, kami merasa keadilan belum sepenuhnya ditegakkan. Namun sebagai jaksa, kami tetap menghormati putusan pengadilan,” imbuhnya.
Kini, empat tahun berselang, nama Agat kembali masuk radar hukum—kali ini bukan lagi sebatas terdakwa, melainkan diduga sebagai aktor kunci dalam skandal timah triliunan rupiah.
Kasus Agat menjadi potret buram betapa rakusnya bisnis timah ilegal telah merampas hak negara, merugikan rakyat kecil, dan merusak lingkungan Bangka Belitung.
Harapan masyarakat kini sederhana: hukum ditegakkan tanpa pandang bulu, lingkungan dipulihkan, dan keadilan benar-benar berpihak pada rakyat.
“Kami hanya ingin hidup tenang. Jangan sampai anak cucu kami mewarisi tanah yang rusak karena keserakahan segelintir orang,” ucap seorang warga dengan mata berkaca-kaca.