Salam Waras Sumedang tengah menghadapi dilema hukum yang mengkhawatirkan, Kejari, Pelindung Rakyat atau Penindas Desa? Kasus Haurkuning Menyingkap Celah Penegakan Hukum dan Pengabaian Instruksi Jaksa Agung.
Kabupaten Sumedang tengah menghadapi dilema hukum yang mengkhawatirkan.
Keberhasilan Kejaksaan Negeri (Kejari) Sumedang mengungkap kasus korupsi besar dalam penerbitan dispensasi nikah kini dibayangi kontroversi penggeledahan di Desa Haurkuning.
Dugaan pelanggaran prosedur dan intimidasi yang dilakukan Kejari sendiri menimbulkan pertanyaan mendalam tentang integritas dan akuntabilitas lembaga penegak hukum.
Kontras mencolok antara keberhasilan memberantas korupsi dan dugaan penyalahgunaan wewenang ini telah mengguncang kepercayaan publik.
Pertanyaan mendasar pun muncul: apakah Kejari Sumedang benar-benar melindungi rakyat, atau justru bertindak sebagai penindas?
Sukses Mengungkap Korupsi, Namun Dinodai Dugaan Pelanggaran:
Kejari Sumedang berhasil membawa kasus dugaan penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan dispensasi nikah ke tahap penyidikan.
Bukti kuat berupa disparitas data perkawinan anak—2.455 kasus menurut Kemenag, 833 menurut Pengadilan Agama—dan dugaan praktik jual beli dokumen ilegal (Rp600.000 – Rp1.000.000 per kasus) menjadi landasan hukum yang kokoh.
Langkah ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001), dan pasal-pasal relevan dalam KUHP.
Dikutip dari sumber, Kepala Kejari Sumedang, Adi Purnama, bahkan menyatakan komitmen untuk menyelesaikan penyelidikan dan menuntut sesuai hukum.
Namun, penggeledahan di Desa Haurkuning yang kontroversial telah mencoreng citra positif tersebut, menimbulkan pertanyaan besar tentang kesungguhan komitmen yang digembar-gemborkan.
Desa Haurkuning:
Korban Intimidasi dan Pelanggaran Prosedur Hukum yang Sistematis?
Penggeledahan di Desa Haurkuning pada 20 Februari 2025 diduga melanggar prosedur hukum secara sistematis.
Kepala Desa Mumuh, dalam keterangannya kepada media, mengungkapkan sejumlah kejanggalan: pemadaman CCTV sebelum penggeledahan, penyitaan dokumen dan barang elektronik tanpa berita acara resmi (melawan Pasal 41 KUHAP), dan penyitaan telepon seluler staf desa yang hingga kini belum dikembalikan.
Tindakan ini diduga melanggar Pasal 32-46 KUHAP. Ketidakhadiran Kepala Desa saat penggeledahan, yang dijelaskan karena tidak menerima panggilan resmi, semakin memperkuat dugaan pelanggaran prosedur.
“Saya tidak menerima panggilan resmi sebelum penggeledahan,” tegas Kepala Desa Mumuh.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014 dan Pasal 1365 KUHPerdata memberikan dasar hukum bagi Desa Haurkuning untuk menuntut keadilan.
Laporan dugaan intimidasi dan kriminalisasi ke Kejagung pada 16 April 2025, disertai penegasan bahwa Pemdes Haurkuning telah menjalankan program BPJS Ketenagakerjaan dan BLT sesuai prosedur, semakin memperkuat tuntutan keadilan mereka.
Instruksi Jaksa Agung Diabaikan:
Kejari Sumedang Abaikan Arahan Pimpinan Tertinggi
Ironisnya, tindakan Kejari Sumedang ini bertolak belakang dengan imbauan Jaksa Agung RI ST Burhanuddin.
Beliau menekankan pentingnya kehati-hatian dalam menangani kasus dugaan korupsi di desa, mengingat keterbatasan pengetahuan kepala desa tentang aturan keuangan.
Dalam Rakornas yang videonya viral di TikTok @Militan (Minggu, 19/5/2024), Jaksa Agung dengan tegas meminta jaksa untuk tidak sembarangan memeriksa kepala desa,
Dengan pernyataan: “Kepala Desa itu swasta, tidak mengerti aturan keuangan pemerintah.” Beliau juga mengancam akan menindak tegas jaksa yang melakukan perbuatan tercela.
Pernyataan Jaksa Agung ini semakin mempertegas dugaan pelanggaran prosedur dan intimidasi oleh Kejari Sumedang, menunjukkan adanya pengabaian arahan dari pimpinan tertinggi Kejaksaan Agung.
Surat Panggilan Ketiga:
Upaya Pengaburan Fakta dan Penghambatan Proses Hukum yang Transparan?
Meskipun Pemdes Haurkuning telah meminta perlindungan hukum ke Jaksa Agung (17 April 2025), Kejari Sumedang menerbitkan surat panggilan saksi ketiga pada 7 Mei 2025.
Lebih memprihatinkan lagi, surat ini tidak ditembuskan ke pimpinan Kejari Sumedang.
Ini bukan hanya pelanggaran prosedur internal, tetapi juga indikasi kuat adanya upaya pengaburan dan penghambatan proses hukum yang transparan dan akuntabel.
Tindakan ini semakin memperkuat kecurigaan akan adanya upaya untuk menutupi pelanggaran prosedur yang telah dilakukan.
Krisis Kepercayaan Publik:
Integritas dan Akuntabilitas Penegak Hukum Diuji, Kasus ini menguji integritas dan akuntabilitas Kejari Sumedang secara serius.
Keberhasilan mengungkap korupsi kini dibayangi oleh dugaan pelanggaran prosedur dan intimidasi.
Transparansi dan pertanggungjawaban sangat penting untuk memulihkan kepercayaan publik.
Penyelidikan independen, sanksi tegas terhadap pelanggaran hukum, dan penghormatan terhadap prosedur hukum, hak asasi manusia, dan etika profesi sangat krusial.
Keheningan Kejari Sumedang semakin memperkuat kecurigaan publik. Desa Haurkuning menanti keadilan, dan publik menanti transparansi dan akuntabilitas dari lembaga penegak hukum.
1 Komentar