Salam Waras Sinjai – Aktivitas tambang tanah urug dan batu yang dikaitkan dengan CV. Garasi Sembilan Tujuh terus menuai sorotan publik. Debu pekat, truk ugal-ugalan, hingga potensi kecelakaan maut di jalan poros Sinjai–Bone membuat warga resah.
Bukan hanya mengganggu kenyamanan, aktivitas tambang ini juga membuka dugaan adanya pelanggaran hukum dan potensi kerugian negara.
Polemik Legalitas: ESDM vs Pemilik Tambang
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan bahwa hingga kini Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) 2025 belum disetujui untuk seluruh tambang di Sinjai, termasuk CV. Garasi Sembilan Tujuh.
Padahal, Permen ESDM No. 10 Tahun 2023 menegaskan perusahaan tidak boleh melakukan produksi maupun penjualan sebelum RKAB disahkan. Pelanggarannya bisa berujung sanksi berat: mulai dari denda administratif hingga pencabutan izin.
“Perusahaan wajib menahan diri sebelum RKAB disetujui. Kalau tetap berproduksi, jelas ada pelanggaran serius,” ujar Muhammad Ali, Inspektur Tambang Madya ESDM Wilayah Sulsel. dikutip ujungjari.com
Namun, pemilik CV. Garasi Sembilan Tujuh, Khairil, membantah tudingan ilegal.
“Kami punya izin resmi, termasuk perpanjangan legalitas usaha. Jenis komoditas jelas: tanah urug. Kalau ada yang bilang ilegal, itu keliru,” tegas mantan legislator Sinjai tersebut. Dikutip posliputan.com
Ancaman Hukum dan Kerugian Negara
Jika benar produksi dilakukan tanpa RKAB yang sah, aktivitas ini berpotensi melanggar UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba.
Pasal 158 UU Minerba: Setiap orang yang melakukan usaha pertambangan tanpa izin dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda hingga Rp100 miliar.
Pasal 119 UU Minerba: Pemegang IUP wajib membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) seperti iuran produksi/royalti. Tanpa dokumen sah, penerimaan negara bisa terancam hilang.
Dengan produksi tambang yang terus berjalan, potensi kerugian negara dari PNBP yang tidak masuk kas negara sangat besar.
Dampak Sosial dan Keselamatan Publik
Selain persoalan hukum, aktivitas tambang ini menimbulkan dampak nyata bagi masyarakat:
Keselamatan Jalan: Truk bermuatan tanah dan batu kerap tidak menutup terpal, menimbulkan risiko kecelakaan lalu lintas.
Kerusakan Infrastruktur: Jalan poros Sinjai–Bone yang jadi jalur vital terancam cepat rusak, membebani APBD untuk perbaikan.
Kesehatan Warga: Debu beterbangan memicu risiko gangguan pernapasan.
Potensi Konflik Sosial: Ketidakjelasan pemilik tambang menimbulkan spekulasi dan keresahan di masyarakat.
“Kalau terus dibiarkan, pasti akan ada korban jiwa. Jalan bisa rusak, debu bikin sesak napas. Truk-truk itu seenaknya keluar masuk,” keluh seorang warga.
Aparat Diminta Tegas
Kapolres Sinjai menyatakan pihaknya akan menindaklanjuti laporan masyarakat.
“Terkait tambang yang diduga tidak jelas itu, di-gas saja. Kami akan panggil pengelola armada dan mencari tahu siapa pemilik usahanya,” tegas Kapolres Sinjai.
LSM Laskar Anti Korupsi Indonesia (LAKI) juga mendesak agar aparat segera menghentikan aktivitas tambang sebelum jatuh korban.
Titik Krusial: Transparansi dan Penegakan Hukum
Polemik ini menegaskan dua hal mendesak:
- Kewajiban Transparansi – dokumen izin, khususnya RKAB 2025, harus dibuka ke publik untuk menghindari spekulasi dan dugaan pelanggaran.
- Penegakan Hukum Tegas – aparat tidak boleh ragu menghentikan produksi tanpa RKAB sah, demi mencegah kerugian negara dan korban di masyarakat.
Selama polemik ini belum tuntas, keresahan warga Sinjai akan terus membayangi. Jalan poros yang semestinya menjadi urat nadi perekonomian justru berubah menjadi jalur maut akibat tambang yang penuh kontroversi.