KETAPANG, KALBAR — Warga Teluk Bayur telah hidup turun-temurun di tanah leluhur mereka sejak masa Hindia Belanda, bertahan di era pendudukan Jepang, hingga menyambut kemerdekaan Indonesia tahun 1945.
Namun, 80 tahun kemudian, mereka justru merasa terusir dari tanah kelahirannya sendiri.
“Kami lahir, hidup, dan akan mati di sini. Tapi sekarang kami malah diusir dari tanah sendiri,” keluh seorang sesepuh desa dengan nada getir.
Dari Penjajahan ke Penggusuran: Apa Bedanya?
Ironi Teluk Bayur mencerminkan wajah buram kemerdekaan. Dulu di masa penjajahan, rakyat boleh bercocok tanam tanpa takut kehilangan tanah.
Kini, di masa yang disebut “merdeka”, warga justru dipanggil polisi karena memanen sawit di kebun yang telah digarap turun-temurun.
Dua warga, M. So’od dan Andi Kusmiran, dipanggil oleh Polres Ketapang atas dugaan “menguasai lahan tanpa hak”. Padahal, lahan itu sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka sejak zaman kolonial.
“Dulu penjajah datang dengan senjata, sekarang penindasan datang dengan surat panggilan polisi,” ujar warga lain yang enggan disebut namanya.
Pertanyaan pun menyeruak:
Mana yang lebih kejam — zaman penjajahan, atau zaman kemerdekaan yang katanya untuk rakyat?
Aparat Diduga Melindungi Korporasi, Suara Rakyat Dibungkam
Warga menduga, ada kekuatan besar di balik perusahaan perkebunan PT. Prakarsa Tani Sejati (PTS) yang membuat hukum tampak tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Laporan warga kerap berujung tanpa kejelasan, sementara aksi damai mereka direspon dengan intimidasi halus.
“Kalau zaman penjajahan kami dijajah bangsa asing, sekarang kami dijajah oleh sistem dan keserakahan,” ucap seorang tokoh adat Teluk Bayur.
Padahal, Pasal 33 UUD 1945 menegaskan:
“Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Namun di Teluk Bayur, rakyat kecil justru tidak merasakan kemakmuran, melainkan ketakutan dan kehilangan hak hidup di tanah sendiri.
Prabowo: Negara Tak Boleh Takut pada Kebenaran
Presiden Prabowo Subianto berulang kali menegaskan pentingnya keberpihakan negara terhadap rakyat kecil dan supremasi hukum yang adil.
Dalam Pidato Kenegaraan 17 Agustus 2024, Prabowo menyatakan:
“Kita tidak boleh menutup mata terhadap penderitaan rakyat kecil. Negara wajib hadir, membela yang lemah, dan menegakkan keadilan tanpa pandang bulu.”
Dalam forum lain, ia menegaskan bahaya negara yang gagal menegakkan hukum:
“Negara-negara gagal umumnya kehilangan fungsi perlindungan terhadap rakyatnya karena sistem hukum yang tidak efektif. Hukum tidak boleh tajam ke bawah dan tumpul ke atas.”
Prabowo bahkan memperingatkan para pengusaha:
“Saya mengingatkan pengusaha-pengusaha, kau boleh untung, tapi jangan mencekik petani-petani kita. Kalau kau tidak patuh dengan peraturan pemerintah, kami akan bertindak.”
Pernyataan tegas itu kini menjadi cermin harapan bagi warga Teluk Bayur — agar pemerintah benar-benar hadir dan menindak siapa pun yang merampas hak rakyat.
Dasar Hukum yang Mengikat:
- UUD 1945 Pasal 33 Ayat (3) — Tanah dan kekayaan alam dikelola untuk kemakmuran rakyat.
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) — Menjamin hak atas tanah bagi warga negara.
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan — Perusahaan wajib menghormati hak masyarakat adat dan menyelesaikan konflik secara adil.
- Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria — Negara wajib hadir dalam penyelesaian sengketa tanah.
- Peraturan Daerah Kabupaten Ketapang Nomor 7 Tahun 2015 — Mengatur kewajiban perusahaan menyerahkan Tanah Kas Desa (TKD).
Refleksi Bangsa: Merdeka di Atas Luka
Kasus Teluk Bayur menjadi potret getir kemerdekaan yang belum sepenuhnya dirasakan rakyat kecil.
Ketika warga yang menjaga tanah leluhur justru dikriminalisasi, maka kemerdekaan kehilangan maknanya.
“Mungkin zaman penjajahan dulu kami miskin, tapi kami masih punya tanah. Sekarang kami katanya merdeka, tapi kami tak punya tempat untuk berpijak,” ujar seorang warga tua dengan suara bergetar.
Negara Harus Berani Bertindak
Janji kemerdekaan tidak boleh berhenti di upacara dan simbol. Negara wajib membuktikan bahwa hukum benar-benar menjadi pelindung rakyat, bukan alat kekuasaan.
“Hukum harus menjadi perisai rakyat, bukan pedang yang melukai mereka,” ujar Presiden Prabowo.
Kini, rakyat Teluk Bayur menunggu pembuktian:
Apakah Indonesia benar-benar merdeka — atau sekadar berganti wajah dari penjajahan lama ke penjajahan baru?