Misteri Surat Panggilan Polisi di Balik Bungkamnya Polda Sulsel!, Dugaan Dipelihara, Riuhnya Kecurigaan Publik?

Makassar, | salamwaras.com —
Pemanggilan Andi Arif, ahli waris almarhum Haji Taman Bin Yanbo, oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Sulawesi Selatan, menimbulkan banyak tanda tanya. Rabu 8 Oktober 2025.

Dalam surat bernomor S.Pgl/Saksi.2/2473/IX/RES.1.11/2025/Krimum, Andi Arif dipanggil sebagai saksi atas dugaan penggelapan hak atas barang tidak bergerak sebagaimana diatur dalam Pasal 385 KUHP.

Bacaan Lainnya

Andi Arif mengaku bingung dan menilai surat panggilan itu janggal karena tidak mencantumkan identitas pelapor.

“Saya tidak tahu siapa yang melaporkan saya. Saya hanya mempertahankan tanah warisan keluarga almarhum Haji Taman Bin Yanbo. Tapi tiba-tiba saya dipanggil polisi,” ujarnya dengan nada heran.

Ia menjelaskan, sengketa lahan tersebut bermula dari klaim Rahayudin, yang mengatasnamakan PT Adi Tarina Lestari sebagai pemegang alas hak atas lahan di Kelurahan Sudiang, Kecamatan Biringkanaya, Makassar.

Padahal, menurut Andi, lahan itu merupakan warisan keluarga yang telah dikuasai secara sah dan turun-temurun.

Karena merasa diperlakukan tidak adil dan pemanggilan dianggap tidak berdasar, Andi Arif melayangkan laporan resmi ke Propam Polda Sulsel dan Propam Mabes Polri, guna meminta perlindungan hukum serta kejelasan proses penyidikan.

Secara hukum, Pasal 112 ayat (1) KUHAP mewajibkan penyidik mencantumkan alasan dan identitas pelapor secara jelas dalam surat panggilan.

Sementara Pasal 385 KUHP hanya dapat diterapkan apabila terdapat bukti kuat bahwa seseorang dengan sengaja dan melawan hukum menjual atau menguasai tanah milik orang lain.

Bila tanah tersebut masih dalam sengketa, penyelesaiannya semestinya melalui jalur perdata, bukan pidana.

Kasus ini semakin menyita perhatian karena Rahayudin disebut menerima kuasa dari PT Adi Tarina Lestari, perusahaan yang komisarisnya, Andrian Woworuntu, pernah terseret kasus pembobolan Bank BNI senilai Rp1,7 triliun.

Fakta itu menimbulkan pertanyaan serius mengenai legalitas dan moralitas penguasaan lahan tersebut.

Hingga berita ini diterbitkan, Kabid Humas Polda Sulsel maupun pihak Ditreskrimum Polda Sulsel belum memberikan klarifikasi resmi.

Di balik kebungkaman tersebut, publik di Kota Makassar justru semakin curiga.

Dugaan adanya jaringan mafia tanah di wilayah Makassar—dan secara umum di Sulawesi Selatan—kian menguat.

Banyak kalangan menilai, praktik penguasaan lahan rakyat kecil secara sistematis ini diduga “dipelihara” oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki kekuatan modal dan akses ke aparat penegak hukum.

Pertanyaan publik kini menyeruak:
Bagaimana mungkin keadilan bisa tegak, jika hukum justru menakut-nakuti rakyat kecil seperti Andi Arif, ahli waris Haji Taman Bin Yanbo

Keadilan akan kehilangan maknanya jika hukum hanya berpihak kepada mereka yang kuat, sementara rakyat yang lemah justru dibungkam oleh surat panggilan dan proses hukum yang kabur.

Di negeri yang katanya menjunjung tinggi hukum, terkadang yang kecil harus berteriak lebih keras hanya agar didengar.

Ketika suara keadilan tertutup oleh kekuasaan dan uang, yang tersisa hanyalah tanya — siapa sebenarnya yang menjaga kebenaran?
Semoga hukum tak lagi tajam ke bawah dan tumpul ke atas, sebab keadilan bukan milik segelintir, tapi hak setiap warga.

Hingga berita ini diterbitkan, pihak Propam Polda Sulsel masih diusahakan untuk dikonfirmasi.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *