BerandaBeritaJejak Komisaris PT Adi Tarina Lestari di Balik Kasus BNI Rp1,7 Triliun?, Bayangan Mafia Tanah di Makassar, Soal "Backing" Aparat Jadi Pertanyaan
Jejak Komisaris PT Adi Tarina Lestari di Balik Kasus BNI Rp1,7 Triliun?, Bayangan Mafia Tanah di Makassar, Soal “Backing” Aparat Jadi Pertanyaan
Adrian, yang kini menjabat sebagai Komisaris PT Adi Tarina Lestari, pada tahun 2020 disebut memberikan surat kuasa kepada Fadli untuk mengelola dan menjual lahan seluas sekitar 3 hektar di kawasan Sudiang.
Dikutip sumber beritainews.com, Berdasarkan surat kuasa itu, Fadli kemudian menunjuk Muh. Amir Jufri sebagai kuasa substitusi yang melakukan penjualan lahan ke pihak ketiga dengan nilai transaksi mencapai Rp17,5 miliar.
Hal itu diungkapkan oleh Petrus Tottong, S.H., kuasa hukum Amir Jufri, dalam jumpa pers di Pasar Grosir Daya, Jumat (9/7/2024).
“Amir Jufri memiliki kewenangan penuh untuk melakukan penjualan kepada user. Kewenangan itu diberikan secara sah melalui surat kuasa khusus dan PPJB tahun 2020,” ujar Petrus
Menurutnya, PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) tersebut menjadi dasar hukum sah yang memberikan hak penuh bagi Amir Jufri untuk melakukan negosiasi, pembahasan harga, hingga penandatanganan perjanjian jual beli.
Namun, munculnya kuasa baru tahun 2023 yang mencoba menggugurkan kuasa lama menimbulkan persoalan hukum baru.
“Kami mempertanyakan legalitas kuasa baru itu. Kuasa 2020 tidak bisa begitu saja dibatalkan, apalagi tanpa persetujuan pihak yang sah,” tegas Petrus.
Lebih jauh, Petrus menyoroti penanganan perkara oleh penyidik Reskrim Polrestabes Makassar dalam Laporan Polisi Nomor: 53/Reskrim/Polrestabes Makassar, yang menuding kliennya melakukan penggelapan.
“Aneh, Fadli yang jadi pemberi kuasa belum pernah diperiksa, padahal dia ada di Indonesia. Ini menimbulkan dugaan kuat bahwa ada oknum yang mendikte arah kasus,” ucap Petrus
Bayang-Bayang Lama: Adrian Waworuntu dan Kasus BNI Rp1,7 Triliun
Nama Adrian Waworuntu bukan nama sembarangan. Ia pernah menjadi terpidana seumur hidup dalam kasus pembobolan Bank BNI senilai Rp1,7 triliun bersama Maria Pauline Lumowa pada periode 2002–2003.
Dilansir dari Kompas.tv, Adrian adalah pemilik PT Gramarindo Mega Indonesia. Ia sempat buron 1,5 bulan sebelum ditangkap di Sumatera Utara, 22 Oktober 2004.
Dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tahun 2005, Adrian dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang, dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, denda Rp1 miliar, serta diwajibkan mengembalikan Rp300 miliar uang negara.
Majelis hakim menilai, tindakan Adrian berdampak luas terhadap perekonomian nasional, menurunkan kepercayaan investor, dan mengguncang reputasi perbankan Indonesia. Kini, dua dekade kemudian, namanya kembali muncul — kali ini dalam sengkarut lahan miliaran rupiah di Makassar.
Dugaan Mafia Tanah dan Peran Oknum Penegak Hukum
Di sisi lain, muncul dugaan praktik mafia tanah di kawasan Mannuruki Indah, Kelurahan Sudiang Raya, yang diduga turut melibatkan oknum aparat.
Sejumlah ahli waris almarhum H. Taman bin Yambo menuding Polda Sulsel melalui Unit Tahban membiarkan praktik penguasaan lahan secara ilegal yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mengatasnamakan PT Adi Tarina Lestari.
“Kami sudah melapor berulang kali, tapi tak ada tindakan. Kalau laporan rakyat kecil diabaikan, artinya ada yang melindungi mereka,” ujar Andi Arif, ahli waris H. Taman, Minggu (5/10/2025).
Mereka menilai telah terjadi pembiaran sistematis, bahkan dugaan keterlibatan langsung oknum aparat di lapangan.
Laporan ke Propam Polda Sulsel pun tak kunjung mendapat respons, menambah kecurigaan bahwa ada pihak yang “memelihara” jaringan mafia tanah tersebut.
Nama Pak B (inisial) dari Unit Tahban Polda Sulsel dan Pak S (inisial) dari Polsek Biringkanayya disebut-sebut hadir dalam kegiatan pengukuran lahan yang statusnya masih sengketa.
“Legalitas PT Aditarina itu patut dipertanyakan. Dari mana dasar hukumnya, dan siapa yang memberi kewenangan mengklaim tanah kami?” tegas Andi Arif.
Menurut ahli waris, akta perjanjian kerja sama yang digunakan PT Adi Tarina cacat hukum karena tidak ditandatangani seluruh ahli waris dan tanpa bukti pembayaran sah.
Klarifikasi Polisi: Hanya Pengamanan Teknis
Menanggapi tudingan itu, Polrestabes Makassar menegaskan bahwa kehadiran aparat di lapangan hanya sebatas pengamanan kegiatan pengukuran.
“Anggota Polri berada di lokasi bukan sebagai beking, tetapi berdasarkan surat permohonan bantuan pengamanan dari PT Aditarina kepada Polsek Biringkanayya dalam kegiatan pengukuran oleh BPN Kota Makassar,” jelas AKP Wahiduddin, Kasi Humas Polrestabes Makassar, Senin (22/9/2025).
Surat permohonan tersebut tercatat dalam Nomor: 001/VIII/2025 tertanggal 29 Agustus 2025, dan ditindaklanjuti oleh Kapolsek Biringkanayya melalui Sprin/328/IX/2025 tanggal 17 September 2025.
Namun, klarifikasi itu tak menenangkan publik. Sebab, pengamanan di lahan yang masih berstatus sengketa dianggap melanggar prinsip netralitas aparat sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan Perkap No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri
Diduga Langgar Sejumlah Aturan Hukum
Penguasaan lahan tanpa dasar hukum yang sah, apalagi dengan dukungan aparat, berpotensi melanggar:
Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen,
Pasal 385 KUHP tentang penyerobotan hak atas tanah,
Pasal 421 KUHP tentang penyalahgunaan wewenang oleh pejabat, dan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tentang kepastian hukum yang adil bagi warga negara.
Ketika dikonfirmasi, AKP Burhan dari Polda Sulsel meminta agar pemberitaan diklarifikasi langsung ke pimpinan.
Redaksi telah berupaya menghubungi Kabid Humas Polda Sulsel, Kombes Pol Didik Supranoto, namun hingga berita ini diterbitkan, belum memberikan tanggapan resmi.
Keadilan di Bawah Sorotan Publik
Kasus ini menjadi ujian nyata bagi visi “Presisi” Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, yang menegaskan bahwa hukum harus berpihak pada keadilan sosial.
Kapolri berulang kali mengingatkan bahwa hukum tidak boleh tajam ke bawah, tumpul ke atas, dan aparat harus menjadi pelindung rakyat, bukan pelindung mafia.
Presiden Prabowo Subianto pun menyerukan agar aparat penegak hukum tegas menindak penyelewengan dan kezaliman.
“Jangan biarkan pejabat berbuat sekehendaknya. Jangan menipu rakyat, jangan mencuri dari kekayaan rakyat,” tegas Presiden dalam Amanat Pancasila, 2 Juni 2025.
Bayang-bayang masa lalu Adrian Waworuntu seolah menegaskan bahwa kejahatan ekonomi dan manipulasi hukum kerap menemukan wajah barunya.
Kini, bukan lagi soal bank dan uang triliunan rupiah, tetapi soal tanah rakyat — ruang hidup yang mestinya dijaga negara, bukan dijual oleh oknum berkuasa.
Keadilan tidak akan pernah hadir bila hukum hanya melindungi yang kuat dan membiarkan yang lemah berteriak di pinggir jalan. Di atas setiap jengkal tanah yang disengketakan, ada air mata rakyat kecil yang menuntut keadilan.