Sinjai, SalamWaras – Dugaan skandal keuangan mengguncang Sinjai! Perbedaan mencolok anggaran perjalanan dinas DPRD—selisih hampir Rp 3 miliar antara data BPKAD (lebih dari Rp7 miliar) dan Sekwan (Rp4,2 miliar) menimbulkan kecurigaan kuat adanya penyelewengan dana publik.
Kemana aliran dana fantastis tersebut? Pertanyaan ini menggema, menuntut transparansi dan akuntabilitas yang segera. Aroma korupsi begitu pekat!.
Kepala BPKAD Sinjai, Ilham Abubakar, mengungkapkan angka fantastis: lebih dari Rp7 miliar. Namun, Sekretaris Dewan (Sekwan), Lukman Fattah, menyatakan angka jauh lebih rendah: Rp4,2 miliar.
Selisih hampir Rp 3 miliar—bukan sekadar perbedaan data, tetapi jurang pemisah antara janji dan realita, antara kemewahan dan penderitaan.
Ke mana aliran dana tersebut? Pertanyaan ini menggema, menuntut jawaban yang transparan dan akuntabel.
Kejanggalan ini menguatkan dugaan upaya sistematis untuk menyembunyikan anggaran. Alasan efisiensi hanyalah kedok untuk menutupi potensi penyelewengan yang terencana.
Seorang tokoh masyarakat Sinjai, yang enggan disebutkan namanya, mengatakan dengan nada getir,
“Ini sangat aneh! Masyarakat berhak tahu kemana selisih anggaran hampir Rp 3 miliar ini!” Tuntutan transparansi dan akuntabilitas menggema, menuntut pertanggungjawaban dari pihak DPRD Sinjai.
Ironi pahit menyelimuti Sinjai. Di tengah dugaan penyelewengan dana publik yang menggunung, tenaga kesehatan, pahlawan garis depan, terkatung-katung menunggu pencairan dana kapitasi dan insentif.
Sekretaris Dinas Kesehatan Sinjai, drg. Farina Irfani (drg. Arin), mengungkapkan realita pilu ini. Penundaan pencairan, katanya, disebabkan oleh penyesuaian rekening belanja yang lamban.
Namun, lambannya proses ini menunjukkan lemahnya perencanaan dan koordinasi pemerintah daerah, meninggalkan tenaga kesehatan dalam kepungan kesulitan ekonomi.
Lebih miris lagi, insentif tenaga kesehatan non-ASN belum cair karena pemerintah pusat belum menyalurkan dana mandatori.
Janji-janji manis dari Dinas Kesehatan terasa hampa. Sikap pasif menunggu kucuran dana pusat menunjukkan kurangnya inisiatif dan upaya proaktif dari pemerintah daerah.
Kontras yang menyayat hati: limpahan dana untuk perjalanan dinas DPRD, dibandingkan dengan penderitaan tenaga kesehatan yang menunggu rupiah demi rupiah untuk bertahan hidup.
Ini bukan hanya soal angka, tetapi soal moralitas dan tanggung jawab kepemimpinan.
Pemerintah Daerah Sinjai harus bertanggung jawab atas penderitaan tenaga kesehatan ini.
Kejadian ini menjadi cermin buruknya tata kelola pemerintahan dan tamparan keras bagi mereka yang seharusnya mengabdi untuk rakyat.
Keadilan dan transparansi harus ditegakkan. Keheningan hanya akan memperkuat kecurigaan dan memperpanjang penderitaan. (*)