Opini -Ketika dua insan memutuskan berpisah, yang seharusnya tinggal hanyalah kenangan—bukan dendam, apalagi perebutan hak yang menafikan keadilan.
Namun, di tengah dinamika kehidupan, perceraian sering kali tak hanya memisahkan hati, tetapi juga mengguncang tatanan kepemilikan, kepercayaan, dan moralitas hukum.
Kasus yang mencuat di Berau hanyalah satu potret kecil dari luka besar dalam tata kelola hukum keluarga dan pertanahan di negeri ini.
Ketika sebuah rumah—yang dibangun dari jerih payah dan niat tulus untuk anak-anak—berubah menjadi objek jual beli tanpa izin, maka bukan hanya harta yang dipertaruhkan, melainkan harga diri dan keadilan itu sendiri.
Hukum ada untuk menjaga agar kepemilikan tidak ditafsirkan dengan emosi. Akta otentik, tanda tangan, dan surat kuasa bukan sekadar berkas kertas—mereka adalah simbol kepercayaan yang seharusnya dijaga, bukan disalahgunakan.
Dan ketika seorang notaris, yang seharusnya menjadi penjaga gerbang legalitas, terlibat dalam pusaran dugaan penyimpangan, maka publik berhak bertanya: di mana integritas profesi yang dijanjikan?
Keadilan tidak boleh pudar hanya karena cinta telah berakhir. Sebab cinta bisa gagal, tetapi kebenaran tak boleh dikorbankan. Sebuah rumah mungkin bisa dijual, tapi nurani dan keadilan seharusnya tidak pernah berpindah tangan.
Negara melalui aparat penegak hukumnya memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa setiap tanda tangan dalam akta mewakili kehendak yang sah, bukan manipulasi yang disulap menjadi legalitas.
Karena bila hukum bisa ditukar dengan kepentingan, maka yang hancur bukan hanya satu keluarga, melainkan fondasi kepercayaan kita terhadap negara hukum.
Kini, ketika persoalan ini memasuki ranah penyelidikan dan sengketa hukum, masyarakat menunggu:
Apakah keadilan akan berpihak pada kebenaran, atau justru tunduk pada kelicikan yang pandai menulis tanda tangan palsu di atas kertas hukum?
Karena pada akhirnya, keadilan sejati bukan tentang siapa yang menang atau kalah, tetapi tentang siapa yang berani tetap jujur ketika cinta telah berakhir.