Pasuruan – Kasus penganiayaan wartawati Ilmiatun Nafia kembali mencuat. Setelah sempat dicabut, Ilmia kini menempuh jalur hukum lebih luas, melapor ke Propam Polda Jawa Timur, Seksi Propam Polres Pasuruan Kota, dan BPPKB Pasuruan, menuntut keadilan yang selama ini terhambat oleh tekanan dan intimidasi.
Kasus bermula 14 Maret 2025. Ilmia diduga dipukul oleh seorang perempuan di area parkir Polres Pasuruan Kota, disaksikan anggota polisi dan warga. Tekanan internal membuat Ilmia sempat mencabut laporannya, namun rasa dirugikan secara moral dan sosial memaksa dia kembali menuntut keadilan.
Pada 21 September 2025, Ilmia melapor ke BPPKB Pasuruan, yang mendampinginya ke Polres untuk klarifikasi terkait pencabutan laporan. WhatsApp dengan petugas PPA mengungkap bahwa laporan juga diteruskan ke Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI.
“Nggeh mbak, saya proses ke pelaporan kementrian,” tulis petugas PPA pada 22 September 2025, pukul 10.29 WIB.
Kasus ini jauh lebih kompleks dari sekadar penganiayaan fisik. Ilmia melaporkan dugaan pelecehan seksual, pencemaran nama baik, dan bullying internal di grup WhatsApp “Admin Polres Pasuruan Kota”. Nama dan reputasinya dicemarkan secara terbuka, tanpa tindakan dari pengelola grup.
“Ini bukan sekadar masalah pribadi, tapi pelecehan terhadap martabat saya,” tegas Ilmia.
Korban menuntut:
- Oknum aparat ditindak tegas.
- Perlindungan hukum dan psikologis diberikan.
- Bullying internal diusut tuntas.
- Proses hukum transparan.
- Kebebasan pers dijaga.
Hingga kini, belum ada SP3 diterbitkan. Ilmia menyerahkan rekaman, bukti percakapan WhatsApp, dan data lain ke kepolisian. Kepala Seksi Propam Polres Pasuruan Kota memastikan seluruh bukti dan saksi akan diperiksa, termasuk dugaan bullying internal, agar proses hukum transparan dan profesional.
Publik bertanya: apakah hukum akan ditegakkan atau kasus ini akan ditutup rapat, menyisakan tekanan bagi wartawati dan korban kekerasan lainnya?
- Intimidasi internal di Polres Pasuruan.
- Bullying terbuka melalui grup WhatsApp internal.
- Tekanan sosial yang memaksa korban mencabut laporan.
Komitmen aparat dalam menegakkan hukum dan melindungi kebebasan pers.
“Saya tidak akan berhenti sampai keadilan ditegakkan,” tegas Ilmia.
Kasus ini menjadi ujian serius: apakah aparat berani menegakkan hukum tanpa pilih kasih? Atau hukum hanya berlaku bagi mereka yang kuat dan berkuasa?