Dibalik Polemik Tambang di Lahan IUP Kepala Burung, Keberadaan Dirut SDM PT Timah Dipertanyakan

Bangka, SalamWaras— Aroma ketidakadilan tercium dari ruang Banmus DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Puluhan penambang rakyat dari sejumlah desa di Kecamatan Bakam mendesak DPRD Babel agar memperjuangkan hak mereka menambang di lahan IUP PT Timah Tbk yang berada di kawasan perkebunan sawit PT GML, tepatnya di wilayah Kepala Burung, Bukit Layang.

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dipimpin Ketua DPRD Babel Didit Srigusjaya, terungkap fakta mencengangkan: PT Timah hanya menunjuk satu mitra, CV Tri Mustika Resource (TMR), untuk beroperasi di kawasan seluas lebih dari 400 hektar. Sementara itu, penambang rakyat dibiarkan menggantung — peralatan mereka sudah lama terparkir di lokasi tanpa kepastian kapan bisa mulai bekerja. Ironisnya, mitra PT Timah justru sudah menambang lebih dari tiga bulan dan diduga telah mengantongi ratusan ton pasir timah dengan dalih izin uji coba.

Bacaan Lainnya

Anggota DPRD Babel dari Dapil Bangka, Himmah Ollivia, menilai kebijakan PT Timah dan mitranya diskriminatif serta berpotensi memicu konflik horizontal.

“PT Timah wajib mengakomodir penambang lokal. Jangan hanya memberi ruang kepada satu mitra. Apalagi harga beli pasir timah rakyat ditekan rendah dengan alasan ganti rugi kepada PT GML. Padahal, PT GML justru berkebun di atas IUP milik PT Timah,” tegas Himmah.

Ia menambahkan, PT GML selama ini belum memenuhi kewajiban plasma 20 persen bagi rakyat, sebagaimana diatur dalam regulasi perkebunan, sehingga tak pantas menagih ganti rugi kepada penambang rakyat.

“Kalau mau jujur, justru PT GML yang harus bayar kompensasi ke PT Timah, bukan sebaliknya,” ujarnya tajam.

Ketua DPRD Babel Didit Srigusjaya menegaskan bahwa DPRD hadir untuk mencari solusi konkret.

“Kami ingin memastikan aspirasi penambang rakyat terakomodir, agar mereka bisa bekerja secara legal, tertib, dan tanpa konflik,” ucapnya.

Namun, suara masyarakat dari Desa Bukit Layang menyiratkan luka yang dalam.
M. Daud, warga setempat, menyebut warga justru dihalangi ketika ingin menambang di wilayah mereka sendiri.

“Perusahaan mitra masuk tanpa izin sosial, tanpa permisi ke desa. Bahkan alat warga dirusak, ini yang memicu kemarahan hingga berujung aksi pembakaran fasilitas perusahaan,” ungkapnya.

Hal senada disampaikan Bustomi, penambang lokal.

“Kami sudah siapkan alat, tapi belum jelas posisi kami di mata PT Timah. Ancaman penertiban selalu menghantui, padahal kami hanya ingin bekerja di tanah kelahiran kami sendiri,” ujarnya.

Hasil RDP memunculkan sejumlah kesepakatan penting:

  1. Penambang rakyat diperbolehkan beroperasi di lahan IUP PT Timah dengan pengawasan langsung dari PT Timah Tbk.
  2. Harga jual timah rakyat akan dikaji ulang agar tidak merugikan penambang lokal.
  3. Pembagian blok tambang tidak lagi dimonopoli CV TMR, tetapi diatur ulang oleh PT Timah agar adil dan proporsional.
  4. Penggunaan alat berat diatur langsung oleh PT Timah guna menghindari benturan antar kelompok penambang.

Namun di tengah polemik ini, publik mulai mempertanyakan peran dan kehadiran Direktur SDM PT Timah Tbk. Mengapa persoalan sosial dan keadilan tambang di lapangan terus dibiarkan berlarut? Mengapa dialog dan mediasi dengan masyarakat terkesan absen dari kebijakan perusahaan pelat merah itu?

Di balik gegap-gempita produksi dan laporan laba, ada luka sosial yang tak diobati — dan di sanalah letak ujian moral bagi korporasi negara

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *