Salamwaras, Pekalongan — Belum genap seumur jagung, besi gapura di gang Fagansa, Kelurahan Kepatihan, Kecamatan Wiradesa, sudah tampak berkarat.
Padahal proyek tersebut baru saja rampung dan belum dilakukan serah terima resmi.
Dikutip, Proyek yang menelan dana publik sebesar Rp109.345.000,00 dari APBD Tahun Anggaran 2025 itu dikerjakan oleh CV. Sapta Jaya Teknologi, berdasar SPK Nomor 03/SPK/GAPURO.KEPATIHAN/PPK/VII/2025 tertanggal 30 Juli 2025 dengan masa pelaksanaan 90 hari kalender.
Namun hasilnya, justru menimbulkan tanda tanya. Warga menemukan sejumlah bagian gapura tampak tidak dilas sempurna, dicat seadanya, dan mulai berkarat.
“Belum lama dibangun, besinya sudah mulai karatan. Kalau begini, kuatnya sebentar. Belum diserahin aja sudah rusak,” ujar seorang warga kepada Salamwaras.
Janji Awal Tak Ditepati
Warga mengaku, sejak awal sudah ada komitmen terbuka di depan H. Mochtar, anggota DPRD Kabupaten Pekalongan dari Fraksi Golkar yang juga warga Fagansa.
Kesepakatan itu bahkan disaksikan langsung oleh Camat Wiradesa dan konsultan proyek, agar semua sambungan gapura dilas dengan benar dan rapi.
Namun realitas di lapangan berbanding terbalik.
“Waktu itu sudah disepakati, semua sambungan dilas biar kuat. Tapi ternyata cuma dicat dan dipoles, bukan dilas penuh,” ungkap warga lain dengan nada kecewa.
Warga menilai kedua gapura—di ujung timur dan barat gang—sama-sama menunjukkan mutu pekerjaan yang rendah dan terkesan dikerjakan tanpa pengawasan serius.
Rakyat Bertanya, Siapa yang Mengawasi?
Sorotan publik kini mengarah ke Kelurahan Kepatihan, Kecamatan Wiradesa, serta Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang bertanggung jawab atas pelaksanaan proyek tersebut.
“Kami bukan menolak pembangunan. Tapi tolong, kalau uang rakyat yang dipakai, ya kerjakan dengan benar. Jangan asal jadi,” tegas salah satu tokoh masyarakat Fagansa.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak pelaksana proyek CV. Sapta Jaya Teknologi maupun pemerintah setempat belum memberikan tanggapan resmi atas keluhan warga.
Ketika Karat Jadi Cermin Akuntabilitas
Proyek publik sejatinya adalah wujud hadirnya negara di tengah rakyat. Tapi ketika besi karat muncul lebih dulu sebelum tanda tangan serah terima, ada yang patah dalam rantai pengawasan.
Hukum sudah bicara jelas:
UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menegaskan, setiap penggunaan uang negara wajib dapat dipertanggungjawabkan secara sah dan efisien.
Perpres Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah mewajibkan pelaksana menjamin kualitas sesuai spesifikasi teknis.
UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang Pekerjaan Umum menggariskan pentingnya keselamatan konstruksi dan mutu bangunan publik.
Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021 memberi ruang bagi pemerintah untuk menuntut perbaikan atau retensi atas pekerjaan yang cacat mutu.
Jika pengawasan lemah dan mutu diabaikan, itu bukan sekadar soal proyek kecil. Itu soal moral besar: bagaimana uang rakyat dihargai.
Karat di besi gapura mungkin tampak sepele, tapi ia berbicara tentang hal yang lebih dalam: tentang cara negara memperlakukan kepercayaan rakyat.
Pekalongan, dan di mana pun, pembangunan seharusnya menjadi bukti kesungguhan, bukan simbol seremonial yang rapuh di bawah cat tipis.
Rakyat berhak tahu ke mana uang mereka mengalir. Dan pemerintah wajib menjawab, bukan diam.





