Desa Jadi Kurir Pusat, Anggaran Rawan Digelembungkan?, Ketua APDESI Sinjai Soroti SKB Lima Menteri Soal Koperasi Merah Putih!

Sinjai, SalamWaras — Gelombang kritik muncul usai terbitnya Keputusan Bersama (SKB) Lima Menteri dan Dua Kepala Badan Negara tentang Percepatan Pembangunan Fisik Gerai, Pergudangan, dan Kelengkapan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih.

Kebijakan yang lahir dari hasil rapat kabinet bersama Presiden Prabowo Subianto pada 15 September 2025 itu dimaksudkan untuk mempercepat realisasi Asta Cita Kedua dan Keenam — yakni swasembada pangan berkelanjutan dan pembangunan dari desa untuk pemerataan ekonomi.

Bacaan Lainnya

Namun di lapangan, keputusan yang diteken tujuh pejabat tinggi negara itu justru memantik kegelisahan di kalangan kepala desa.

Salah satunya datang dari Ketua Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Kabupaten Sinjai, Andi Azis Soi, yang menilai bahwa pola pelaksanaan SKB ini terlalu sentralistik dan berpotensi melemahkan otonomi desa.

“Kami di desa ini seperti kurir saja, semua diatur pusat. Dari desain bangunan, sumber anggaran, sampai pelaksananya sudah ditentukan. Kepala desa cuma disuruh menyiapkan lahan dan tanda tangan kontrak,” ujar Andi Azis Soi kepada Salam Waras, Rabu (30/10/2025).

Pusat Atur, Desa Jadi Pelaksana

Berdasarkan isi SKB bernomor 1/SKB/M.KOP/2025 hingga SKB.08/DI-BP/X/2025, seluruh proyek pembangunan koperasi desa dikoordinasikan langsung oleh kementerian terkait: Kementerian Koperasi, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa dan PDTT, serta dua lembaga strategis, yaitu Badan Pengaturan BUMN dan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPIDAN).

Seluruh pembangunan fisik koperasi desa diamanatkan kepada PT. Agrinas Pangan Nusantara (Persero) sebagai pelaksana utama — mulai dari pembangunan gerai, pergudangan, hingga penyediaan sarana pendukung koperasi di lebih dari 80.000 desa dan kelurahan di seluruh Indonesia.

Kementerian Keuangan diberi tugas menyalurkan Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), hingga Dana Desa untuk pembayaran proyek fisik tersebut, sementara peran kepala desa hanya sebatas menyiapkan lahan dan menandatangani kontrak dengan PT. Agrinas Pangan Nusantara (Persero).

“Kalau begini, desa kehilangan daya hidup. Tidak ada ruang untuk inovasi, padahal kami yang tahu kondisi dan kebutuhan masyarakat kami sendiri,” ujar Andi Azis Soi dengan nada kecewa.

Potensi Penyimpangan dan Beban Desa

Ketua APDESI Sinjai menilai, kebijakan ini tidak hanya mengurangi peran desa, tetapi juga membuka peluang terjadinya penyimpangan dan pemborosan anggaran

“Ini rawan sekali. Dari kontrak sampai pembiayaan semua diatur pusat. Kepala desa tidak tahu detail biaya, tidak bisa mengawasi langsung. Risiko penggelembungan anggaran itu nyata,” tegasnya.

Ia juga menyinggung realitas pahit yang sedang dihadapi para kepala desa di berbagai daerah.

“Sementara kepala desa sekarang lagi bulan-bulanan — dana seret, tanggung jawab banyak, masyarakat menuntut, tapi kebijakan makin berat di atas. Kalau salah langkah, kepala desa yang disalahkan,” keluhnya.

Menurutnya, kebijakan yang baik harus dibarengi dengan transparansi, akuntabilitas, dan keterlibatan desa sejak tahap perencanaan. Tanpa itu, program nasional sebesar Koperasi Merah Putih bisa menjadi beban baru bagi pemerintah desa.

Antara Asta Cita dan Sentralisasi

Dalam konsiderans SKB, pemerintah menegaskan bahwa program ini adalah bagian dari implementasi Asta Cita Presiden Prabowo Subianto, terutama dalam mendorong kemandirian bangsa dan pembangunan ekonomi dari desa.
Namun di mata sejumlah pemerhati kebijakan, semangat membangun dari desa justru berubah arah menjadi mengarahkan desa dari pusat.

“Kalau semua diarahkan dari Jakarta, bagaimana kami mau berdaya? Jangan jadikan desa objek, jadikan kami subjek,” tegas Andi Azis Soi, menutup pernyataannya.

Kritik dari APDESI Sinjai membuka ruang refleksi bagi seluruh pemangku kebijakan. Program Koperasi Merah Putih adalah langkah besar untuk pemerataan ekonomi, namun jika dikelola secara tertutup dan top-down, maka semangat kemandirian bisa tergantikan oleh birokrasi proyek.
Desa bukan sekadar perpanjangan tangan pusat — ia adalah denyut pertama republik ini.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *