Salam Waras Jakarta — Enam tahun vonis Mahkamah Agung terhadap Silfester Matutina belum dijalankan. Terpidana kasus fitnah mantan Wapres H. Jusuf Kalla masih berkeliaran di publik.
Sementara Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dan Kejaksaan Agung RI diam seribu bahasa. Hukum negara gagal menegakkan keadilan—dan kini adat siap bertindak.
Kasus bermula 2017 saat tim hukum Jusuf Kalla melaporkan Silfester ke Bareskrim Mabes Polri. PN Jakarta Selatan memvonisnya 1 tahun penjara (2018), diperberat menjadi 1,5 tahun di tingkat banding, dan dikukuhkan MA pada 2019. Vonis inkrah, tapi eksekusi nihil.
Presiden Toddopuli Indonesia Bersatu (TIB) menegaskan: lambannya eksekusi merupakan penghinaan terhadap prinsip Siri’ na Pacce, yang menekankan harga diri dan keadilan masyarakat Bugis-Makassar.
“Kejaksaan tak mampu atau tak mau menegakkan putusan inkrah. Rakyat kecil dihukum cepat, tapi Silfester? Enam tahun berlalu, bebas berkeliaran. Jika negara gagal, adat akan bertindak,” tegasnya, Minggu (26/10/2025).
Presiden TIB memberi tenggat waktu tegas bagi kejaksaan. Bila tidak ada langkah nyata, pihaknya siap menempuh jalur hukum adat, sesuai tradisi, setelah aksi di Mabes Polri dan Gedung KPK terkait kasus korupsi Jalan Sabbang–Tallang, Luwu Utara.
Laporan media nasional Tempo dan CNN Indonesia mencatat Silfester masih aktif di kegiatan sosial dan publik, menimbulkan dugaan perlindungan politik, yang menggerus kepercayaan publik terhadap independensi institusi hukum.
“Hukum harus selaras dengan Siri’ na Pacce—keadilan berlaku untuk semua. Bila hukum negara gagal, adat siap menegakkan harga diri dan keadilan,” tegas TIB.
Kasus ini menjadi cermin buram penegakan hukum di Indonesia: vonis inkrah tak dieksekusi, institusi hukum diam, rakyat mempertanyakan: “Untuk siapa hukum ditegakkan jika Siri’ na Pacce diabaikan?”





