Salam Waras, Sinjai – Dalam sejarah panjang Bugis Sinjai, nama Besse Langelo berdiri tegak sebagai simbol keberanian dan kehormatan.
Ia menolak tunduk pada penjajah Belanda, memilih mati dengan kepala tegak daripada hidup tanpa Siri’.
Namun di tanah yang sama — Butta Panrita Kitta, negeri para cendekia dan penjaga marwah — kini muncul sosok lain yang memancing ironi: Kamrianto, anggota DPRD Sinjai dari Fraksi PAN, yang justru kesan nilai-nilai budaya yang diwariskan leluhurnya tergadai.
Meskipun sejarah mencatat masa perjuangan Besse Langelo (1817–1819) terjadi di tengah kekejaman kolonial, sedangkan Kamrianto (2023–2025) hadir di masa kemerdekaan, keduanya menempati posisi moral yang kontras: satu memperjuangkan kehormatan bangsanya, satunya mempermalukan nilai-nilai luhur itu di hadapan publik.
Besse Langelo dan Siri’ yang Menyala
Besse Langelo bukan sekadar pahlawan, ia adalah roh dari falsafah Bugis: Siri’ na Pacce — harga diri dan solidaritas.
Dalam darahnya mengalir Barani (keberanian) dan kehormatan yang tak bisa ditawar. Ia berperang bukan demi kekuasaan, tetapi demi menjaga martabat bangsanya.
Dalam pandangan Bugis, Siri’ adalah hidup itu sendiri. Siapa yang kehilangan Siri’, kehilangan dirinya.
Karena itu, pengorbanan Besse Langelo dikenang bukan karena heroisme semata, melainkan karena keteguhannya menjaga kehormatan di hadapan penindasan.
Kamrianto dan Siri’ yang Terluka
Kontras mencolok terlihat pada Kamrianto. Belum lama ini publik Sinjai dikejutkan oleh tindakannya melaporkan istrinya sendiri dan kerabat dekatnya ke pihak berwajib atas dugaan perselingkuhan.
Dalam laporannya, Kamrianto mengklaim menemukan bukti kedekatan antara istrinya dan seorang pria yang masih memiliki hubungan keluarga — yang disebut-sebut sebagai “om” dari pihaknya sendiri.
Langkah ini sontak memicu perdebatan luas. Di satu sisi, ia tampak hendak menegakkan Siri’ pribadinya.
Namun di sisi lain, tindakannya justru dianggap melanggar Siri’ itu sendiri, karena membuka aib keluarga ke ruang publik — sesuatu yang dalam adat Bugis sangat tabu dan memalukan.
Lebih dari itu, masyarakat Sinjai belum sepenuhnya melupakan kasus narkoba tahun 2023 yang sempat menyeret nama Kamrianto. Walau isu itu tenggelam, jejak moralnya masih membekas.
Kini dengan drama rumah tangganya yang terbuka ke publik, luka sosial itu kembali menganga — mencoreng lembaga DPRD dan memperburuk citra moral wakil rakyat di mata masyarakat.
Pangngaderreng yang Terguncang
Dalam sistem sosial Bugis, Pangngaderreng adalah tatanan hidup yang memadukan adat, etika, hukum, dan agama. Ia mengajarkan keseimbangan antara tindakan dan rasa malu (malebbi’).
Namun tindakan Kamrianto menunjukkan betapa Pangngaderreng kini terguncang. Ia gagal menjaga keseimbangan antara emosi pribadi dan tanggung jawab publik. Seorang pemimpin yang kehilangan adab berarti kehilangan ruh kepemimpinan.
Bagi masyarakat Bugis Sinjai, ini bukan sekadar aib personal, tetapi keretakan nilai budaya — ketika orang yang dipercaya menjaga marwah daerah justru menelanjangi kehormatan itu sendiri.
Apakah Kamrianto Masih Layak Jadi Panutan?
Pertanyaan ini menggema di Sinjai:
Apakah Kamrianto masih layak dijadikan panutan — baik sebagai wakil rakyat maupun sebagai putra Bugis yang menjunjung Siri’?
Sebagai anggota DPRD dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Kamrianto sejatinya memegang amanah besar: menjadi jembatan aspirasi rakyat, bukan sumber malu bagi rakyat.
Slogan “PAN Bantu Rakyat” atau “Bakti Nyata untuk Indonesia” seharusnya diwujudkan dalam keteladanan, bukan skandal.
Namun langkah Kamrianto justru memperlihatkan sebaliknya. Ia gagal menjadi teladan dalam etika publik maupun moral budaya.
Dalam pandangan adat, kehilangan adab berarti kehilangan legitimasi moral. Ia mungkin masih duduk di kursi dewan, tetapi dalam hati rakyat Sinjai — kursi kehormatannya telah kosong.
Butta Panrita Kitta dan Krisis Keteladanan
Sinjai dikenal sebagai Butta Panrita Kitta — tanah orang berilmu dan beradab. Tetapi kini, nilai-nilai itu seperti terkubur di bawah kerak kepentingan pribadi dan ego politik.
Nama Besse Langelo, simbol keberanian dan kehormatan, kini berhadapan dengan realitas Kamrianto — simbol kemerosotan moral di masa merdeka.
Jika dulu Besse Langelo mati demi menjaga marwah bangsanya dari penjajahan, kini Kamrianto hidup tapi justru mempermalukan marwah daerahnya di hadapan rakyat.
Sinjai seolah kehilangan kompas moralnya. Rakyat tidak butuh orator di gedung dewan; mereka butuh panrita sejati — pemimpin yang menjaga Siri’, memelihara adab, dan menundukkan ego di hadapan nilai-nilai luhur.
Refleksi: Siri’ Harus Kembali ke Ruhnya
Kasus Kamrianto menjadi pelajaran penting bahwa Siri’ tidak bisa digunakan sebagai pembenaran untuk tindakan destruktif. Siri’ bukan untuk mempermalukan, tapi untuk menjaga.
Besse Langelo (1817–1819) memilih mati demi kehormatan bangsanya. Kamrianto (2023–2025) memilih hidup dengan mempermalukan dirinya sendiri.
Dua zaman, dua jalan, dua wajah Sinjai: Satu melahirkan kebanggaan, satu meneteskan air mata.
Kini, bukan hanya Besse Langelo yang berduka — seluruh Butta Panrita Kitta ikut menangis, menyaksikan pemimpinnya kehilangan adab dan arah.
Lembaga dan Partai yang Bungkam
Yang lebih memilukan, meski kasus ini viral dan menjadi buah bibir masyarakat, DPRD Kabupaten Sinjai dan Partai PAN justru tutup mata dan telinga. Tak ada sikap resmi, tak ada sanksi moral, tak ada teguran publik.
Diamnya lembaga dan partai ini menimbulkan tanya besar:
Apakah lembaga dan partai telah kehilangan rasa malu dan tanggung jawab moral di hadapan rakyatnya sendiri?
Diam terhadap aib sosial di tanah Bugis adalah kehilangan Siri’ yang paling memalukan. Dan ketika aib politik lebih mudah dibiarkan daripada kebenaran ditegakkan, maka Butta Panrita Kitta benar-benar berada di ambang kehilangan jiwanya.
Sebab, yang mati bukan hanya adab seorang wakil rakyat, tetapi juga keberanian kolektif untuk menegakkan Siri’ na Pacce — harga diri dan solidaritas sosial yang dulu menjadi napas perjuangan Besse Langelo.
Rakyat Sinjai belajar satu hal pahit: Di zaman Besse Langelo, Siri’ diperjuangkan dengan darah. Di zaman Kamrianto, Siri’ dijual dengan diam.
Dan ketika lembaga serta partai memilih bungkam di tengah aib, yang terdengar hanyalah tangisan sunyi dari bumi Butta Panrita Kitta — tanah yang dulu penuh martabat, kini diselimuti malu tanpa suara.
Dalam petuah Bugis-Makassar disebutkan, “Siri’ émmi rionroang ri lino” — hanya siri’ (harga diri) yang menjadi pegangan hidup di dunia. Petuah ini bukan sekadar kata bijak, melainkan fondasi moral dan sosial yang mengatur perilaku manusia dalam masyarakat.
Seseorang yang tidak menjaga adat budayanya dianggap telah kehilangan siri’ na pacce, yaitu rasa malu dan empati sosial yang menjadi roh kemanusiaan orang Bugis-Makassar.
Kehilangan siri’ berarti kehilangan martabat, dan ketika martabat hilang, maka tidak ada lagi yang bisa menjadi sandaran kehormatan — baik bagi diri, keluarga, maupun komunitasnya.
Dalam pandangan leluhur Bugis, pelanggaran terhadap adat bukan sekadar kesalahan pribadi, tetapi aib sosial yang mencoreng seluruh rumpun dan wilayah asalnya.
Karena itu, menjaga siri’ na pacce berarti menjaga kehidupan itu sendiri — menjaga keutuhan nilai, moral, dan kemanusiaan di tengah arus modernitas yang kian mengikis nurani.
Catatan Redaksi:
Tulisan ini disusun berdasarkan analisis budaya dan nilai-nilai sosial masyarakat Bugis Sinjai. Semua pandangan dalam berita ini bersifat kontekstual dan tidak bermaksud menyerang pribadi, kelompok, maupun lembaga manapun. Redaksi hanya mengedepankan prinsip keberimbangan, edukasi publik, serta penghormatan terhadap asas praduga tak bersalah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers, khususnya Pasal 1 dan 3.




