Lembaga Tak Bernyali, Siri’ yang Mati di Gedung Rakyat Sinjai

SalamWaras, Sinjai — Setelah deretan skandal moral dan hukum yang menyeret nama Kamrianto, anggota DPRD Sinjai dari Partai Amanat Nasional (PAN), Rakyat kini menatap tajam bukan hanya ke arah pelaku, tapi ke gedung DPRD itu sendiri.

Gedung yang seharusnya menjadi rumah rakyat — kini dipandang seperti kuburan kehormatan, tempat “siri’” dan “pacce” perlahan dikubur hidup-hidup di balik tirai kekuasaan.

Bacaan Lainnya

Pasca mencuatnya kasus laporan perselingkuhan Kamrianto terhadap istrinya sendiri — setelah sebelumnya juga pernah terjerat kasus narkoba — tak satu pun suara tegas terdengar dari pimpinan DPRD Sinjai atau DPD PAN.

Tidak ada pernyataan moral, tidak ada sikap politik, tidak ada sanksi etik.
Hanya diam.

Diam yang memalukan.
Diam yang menandakan lembaga tak bernyali.

DPRD Sinjai: Antara Diam dan Mati Rasa

Dalam pandangan publik, sikap bungkam lembaga legislatif ini bukan lagi bentuk kehati-hatian, tetapi tanda mati rasa terhadap nilai etika dan moral publik.

“Kalau wakil rakyatnya berulah dan lembaganya diam, lalu untuk siapa lagi rakyat berharap?” ujar Amiruddin, aktivis muda Sinjai, kepada SalamWaras.com.

Ia menilai, DPRD Sinjai sedang mengkhianati jati dirinya sebagai lembaga pengawas, penggerak moral, dan cermin tanggung jawab politik daerah.

“Yang duduk di sana itu bukan pemilik kursi, tapi penerima amanah. Kalau amanah itu mereka cemari, dan teman-temannya diam, maka semua ikut menanggung dosa publik,” tambahnya.

Ketika Siri’ dan Pacce Hanya Jadi Pajangan

Nilai luhur Siri’ na Pacce sejak dulu menjadi jiwa orang Bugis — malu berbuat aib, pedih melihat penderitaan orang lain.

Tapi kini, kedua nilai itu seolah hanya menjadi slogan di dinding kantor, bukan di dada wakil rakyat.

“Kalau dulu orang Sinjai malu karena harga diri, sekarang pejabatnya tidak malu meski terseret kasus narkoba dan rumah tangga,” kata tokoh adat

Ia menambahkan, “Bagi kami, siri’ bukan hanya tentang aib pribadi, tapi tentang tanggung jawab moral pejabat terhadap rakyatnya. Kalau lembaga tidak menegur, berarti siri’ itu sudah mati di gedung DPRD.”

Rakyat Jadi Penonton Aib

Kemarahan publik makin terasa karena DPRD Sinjai seolah kehilangan refleksi diri.

Sementara isu tambang emas ilegal, kerusakan lingkungan, dan utang daerah ratusan miliar belum tuntas, kini lembaga rakyat justru sibuk dengan bayang-bayang skandal moral yang tak kunjung disikapi.

“Rakyat Sinjai tidak butuh drama rumah tangga pejabat, kami butuh teladan,” ujar Nur, warga Sinjai saat ini berada ditanah Rantau

“Kalau DPRD diam terhadap aib sendiri, bagaimana mau bersuara untuk rakyat yang dizalimi tambang?”

Pernyataan ini menggambarkan kekecewaan kolektif rakyat terhadap wakilnya yang tidak lagi “panrita”, tidak lagi bijak, dan tidak lagi berani.

Politik Tanpa Etika, Demokrasi Tanpa Jiwa

Dalam sistem demokrasi lokal, DPRD mestinya menjadi penjaga etika pemerintahan. Tapi di Sinjai, lembaga itu seperti kehilangan fungsi moralnya.

Ketika etika publik tak lagi dijaga, politik berubah menjadi panggung ego, bukan ruang pengabdian.

“Jabatan tanpa siri’ itu seperti tubuh tanpa roh. Berjalan, tapi kosong. Bicara, tapi tak bermakna,” tulis Dzoel SB

Maka wajar jika rakyat bertanya — adakah di antara mereka yang masih punya malu dan keberanian untuk menegur koleganya sendiri?
Ataukah semua sudah terlanjur nyaman di kursi empuk, lupa pada tanah tempat mereka berpijak?

Siri’ yang Mati di Gedung Rakyat

Butta Panrita Kitta dulu dikenal karena melahirkan pemimpin yang berhati luhur dan beradat tinggi.

Namun hari ini, nilai-nilai itu seakan terkubur di bawah meja rapat, diganti bisik-bisik kepentingan dan gengsi politik.

Sinjai menangis bukan karena hujan, tapi karena kehormatan yang hilang.

Dan selama DPRD terus diam, selama partai menutup mata, selama pejabat merasa kebal malu, siri’ itu tetap akan mati — di gedung yang katanya rumah rakyat.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar