Sinjai, SalamWaras – Di tanah yang dulu dikenal sebagai Butta Panrita Kitta, tempat lahirnya cendekia, ulama, dan pejuang beradab — kini yang terdengar bukan lagi suara petuah, tapi gema hampa dari gedung yang dulu disebut rumah rakyat.
Kursi empuk yang seharusnya menjadi singgasana nurani, kini justru menjadi takhta tanpa jiwa, tempat nilai Pancasila dan siri’ na pacce ditinggalkan di lorong kepentingan pribadi.
Kasus demi kasus menampar wajah politik Sinjai:
Dari dugaan narkoba, drama rumah tangga pejabat, hingga diamnya lembaga legislatif yang kehilangan keberanian moral.
Rakyat menatap, tapi wakilnya justru menunduk — bukan karena malu, tapi karena takut kehilangan posisi.
Politik yang Lupa Amanat Presiden dan Rakyat
Presiden Prabowo Subianto dalam berbagai pidatonya menegaskan bahwa politik bukan ladang kepentingan, tetapi jalan pengabdian.
Ia menyerukan agar pejabat publik menjaga moralitas, memberantas korupsi, dan menjadikan rakyat sebagai pusat nurani kebijakan.
Namun di Sinjai, seruan itu seperti tak bergaung.
Lembaga yang mestinya menjadi penjaga marwah demokrasi justru menjadi penonton dari kebobrokan internalnya sendiri.
Tak ada langkah etik, tak ada teguran, tak ada tanggung jawab moral.
“Negeri ini tak akan jatuh karena kurang orang pintar, tapi karena banyak orang berilmu kehilangan rasa malu,” tulis Dzoel SB
Dari Siri’ ke Slogan, Dari Adab ke Formalitas
Siri’ na pacce — nilai luhur Bugis yang dulu menjadi benteng moral orang Sinjai — kini hanya terdengar di forum adat atau pidato seremonial.
Ia kehilangan makna di ruang politik.
Para wakil rakyat bicara tentang kehormatan, tapi lupa pada malu.
Mereka bicara tentang tanggung jawab, tapi diam ketika koleganya mempermalukan lembaga.
Itulah saat adat menjadi retorika, bukan laku.
“Siri’ itu hidup di dada, bukan di dinding gedung DPRD,” ujar seorang tetua adat di Sinjai Borong dengan nada lirih.
Butta Panrita Kitta: Dari Panrita ke Pengkhianatan Nurani
Sinjai dikenal sebagai Tanah Panrita — tanah para bijak.
Namun kini, rakyat merasa dikhianati oleh mereka yang mengaku bijak, tapi tidak menegakkan etika.
Ketika oknum wakil rakyat terseret kasus narkoba dan drama moral, dan lembaganya memilih diam, maka yang mati bukan sekadar “siri’”, melainkan ruh kepemimpinan lokal.
Dan ketika nurani tidak lagi dijadikan dasar berpikir, maka politik kehilangan maknanya — menjadi ritual lima tahunan yang kosong.
Saat Ruh Pancasila Diperdagangkan
Pancasila mengajarkan Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Keadilan.
Namun apa jadinya ketika pejabat publik menukar nilai itu dengan gengsi, jabatan, dan kepentingan?
Keadilan sosial berubah jadi formalitas.
Kemanusiaan ditukar dengan transaksionalisme.
Dan Ketuhanan hanya jadi kata di naskah sumpah jabatan, bukan pedoman hidup.
Inilah yang disebut krisis ruh Pancasila di Tanah Panrita Kitta.
Krisis yang tak datang dari rakyat kecil, tapi dari mereka yang seharusnya menjadi teladan.
Jalan Pulang: Menemukan Kembali Malu dan Nurani
Sinjai butuh keberanian baru — keberanian untuk jujur, tegas, dan memulihkan kehormatan.
Butuh wakil rakyat yang berani menegur temannya yang salah, bukan melindungi karena satu partai.
Butuh pejabat yang lebih takut kehilangan harga diri daripada kehilangan kursi.
“Siri’ bukan sekadar malu karena aib, tapi tekad untuk memperbaiki diri.
Kalau pejabat sudah tidak malu berbuat salah, maka rakyatlah yang akan menanggung rasa malu itu.”
Tulis Dzoel SB,
Tanah Panrita Kitta tidak butuh pemimpin sempurna.
Ia hanya butuh pemimpin yang berjiwa, yang tahu malu, dan yang tidak menjadikan jabatan sebagai topeng.
Sebab kalau Pancasila sudah tinggal teks,
dan siri’ na pacce tinggal simbol,
maka yang tersisa dari Sinjai hanyalah nama —
bukan kehormatan.





1 Komentar