Makassar, SalamWaras — Di tengah riuhnya isu moral dan hukum yang mengguncang DPRD Sinjai, Ketua DPRD Andi Jusman justru tampak sibuk di arena olahraga.
Ia hadir langsung di Lapangan Tembak SPN Batua Makassar, mendampingi 10 atlet menembak asal Sinjai yang berlaga di Pra-Porprov XVIII Sulawesi Selatan.
Sebagai manajer tim menembak, Andi Jusman terlihat aktif memberi dukungan moral kepada atlet.
“Sebagai manajer tim tentu harus hadir untuk mengawal atlet-atlet kami. Semoga mereka bisa memberi hasil yang bagus dan lolos ke Porprov tahun 2026,” ujarnya di Sinjai Info, Kamis (30/10/2025).
Namun di saat yang sama, sorotan publik justru mengarah pada lembaga yang ia pimpin. Banyak warga menilai DPRD Sinjai tengah kehilangan fokus dan wibawa moral, terlebih di tengah mencuatnya kasus dugaan perselingkuhan istri salah satu legislator PAN, yang menyeret nama Kamrianto sebagai pelapor.
Kasus Moral Legislator PAN: Antara Bukti, Fitnah, dan Siri’ Butta Panrita Kitta
Kasus ini bermula dari laporan Kamrianto (31), anggota DPRD Sinjai dari Partai Amanat Nasional (PAN), yang menuduh istrinya DA (28) berselingkuh dengan SH (33), kerabat dekat keluarga.
Namun hasil penyelidikan Unit PPA Polres Sinjai menunjukkan bukti belum cukup sesuai Pasal 184 KUHAP.
“Bukti yang ada belum cukup untuk menjerat dengan Pasal 284 KUHP. Kami masih mendalami bukti digital dan saksi tambahan,” ujar Kanit PPA Polres Sinjai, Ipda Andi Aliyas, kepada media lokal, Kamis (30/10/2025).
Menanggapi tuduhan tersebut, DA akhirnya angkat bicara melalui akun media sosial pribadinya. Dalam unggahan, ia menuliskan:
“Saya tidak pernah selingkuh. Fitnah ini sudah melewati batas dan menghancurkan keluarga saya. Saya percaya kebenaran akan terungkap, karena Tuhan tahu siapa yang jujur dan siapa yang memutarbalikkan cerita.”
Unggahan itu sontak menuai simpati dan dukungan warganet Sinjai. Banyak yang menilai kasus ini bukan hanya soal rumah tangga, tapi juga menyentuh moral publik dan tanggung jawab seorang wakil rakyat.
Warga kemudian mendesak Polres Sinjai agar menindaklanjuti laporan palsu dan dugaan manipulasi fakta dengan menerapkan Pasal 220 dan 378 KUHP — tentang laporan palsu dan penipuan.
Etika Jabatan Publik dan Krisis Siri’
Kasus ini mencoreng citra DPRD Sinjai dan menimbulkan kegelisahan sosial di Butta Panrita Kitta — tanah yang dikenal menjunjung tinggi siri’ (harga diri) dan pacce (empati moral).
“Pejabat publik seharusnya jadi contoh, bukan sumber malu bagi daerah. Kalau rumah tangganya saja gagal dijaga dengan adab, bagaimana ia menjaga amanah rakyat?” ujar Ustaz Fadel, Wakil Ketua MUI Sinjai.
Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), setiap anggota dewan wajib menjaga kehormatan, martabat, dan citra lembaga.
Keterlibatan dalam konflik pribadi yang mencoreng nama lembaga, terlebih disertai tuduhan palsu atau perilaku tidak pantas, dapat dianggap pelanggaran berat terhadap kode etik.
“Ketua DPRD harus hadir sebagai penegak marwah lembaga. Kalau pimpinannya sibuk di lapangan tembak sementara lembaganya terbakar isu moral, rakyat kehilangan arah panutan,” ujar pengamat hukum publik dari Makassar,
Siri’ yang Hilang, Adab yang Ditinggalkan
Dalam pandangan budaya lokal, jabatan publik adalah amanah siri’ — kehormatan yang melekat pada tanggung jawab moral.
Namun kini, di mata rakyat Sinjai, siri’ seolah hanya jadi slogan tanpa ruh.
“Siri’ napaja allinna — kalau hilang harga diri, maka hilang jiwanya. Ketika dewan tak lagi menjaga adab, maka rakyat pun kehilangan panutan,” ucap budayawan Sinjai,
Catatan SalamWaras
Politik dan olahraga boleh berjalan beriringan, tetapi tanggung jawab publik tidak boleh dikalahkan oleh panggung seremonial.
Ketua DPRD harus kembali ke fungsi utama: mengawasi, menyuarakan aspirasi rakyat, dan menjaga kehormatan lembaga.
Sementara anggota DPRD yang terseret isu moral, wajib membuka diri pada pemeriksaan hukum dan etik, bukan berlindung di balik jabatan.
Karena di tanah Siri’ dan Pacce, jabatan tanpa adab hanyalah seragam tanpa jiwa.
Berpikir Sehat, Bicara Waras — No Viral, No Justice.
Keadilan tak lahir dari sensasi, tapi dari nurani yang berani berkata benar di tengah hiruk-pikuk kekuasaan. (*)





