Polisi Tembak Mati Orang Sakit Jiwa?, Salam Waras: Hukum Harus Tegas, Tapi Nurani Jangan Mati!

Oku, SalamWaras — Sebuah peristiwa tragis mengguncang Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan. Padli, warga Kelurahan Kemelak Bindung Langit, Kecamatan Baturaja Timur, tewas tertembak oleh Tim Resmob Singa Ogan Polres OKU, setelah diduga melakukan perusakan dua pos polisi pada Selasa (28/10/2025).

Namun di balik tindakan tegas aparat, muncul fakta memilukan: Padli diduga mengalami gangguan jiwa (ODGJ).

Bacaan Lainnya

Keluarga korban mengaku telah berulang kali memberi tahu aparat soal kondisi kejiwaan Padli yang tidak stabil pascakepulangan dari pekerjaannya di sektor pelayaran.

“Dia sering berbicara sendiri, mudah marah, tapi tidak pernah melukai orang. Kami sudah bilang ke polisi kalau dia sakit jiwa,” ujar Aldi, keluarga korban, dengan suara bergetar di RSUD Baturaja.

Kronologi dan Tindakan Polisi

Berdasarkan rekaman CCTV, Padli tampak melempari kaca pos polisi Satlantas Polres OKU di Jalan Lintas Sumatera Km 8 dengan batu, hingga menyebabkan kerusakan parah. Aksi serupa juga dilakukan di Simpang Ramayana dan Simpang Universitas Baturaja (Unbara).

Polisi kemudian melakukan upaya penangkapan. Namun saat hendak diamankan sekitar pukul 09.40 pagi, pelaku disebut melawan dengan benda keras, memicu aparat melepaskan enam kali tembakan peringatan sebelum akhirnya dua peluru mengenai tubuh korban — di bahu kiri dan perut — hingga meninggal dunia di tempat.

Kapolres OKU AKBP Endro Aribowo membenarkan peristiwa tersebut.

“Petugas sudah berupaya persuasif, namun pelaku melawan dan membahayakan keselamatan anggota. Tindakan tegas terukur diambil sesuai prosedur,” jelasnya.

Endro menegaskan, kasus ini kini ditangani Propam Polda Sumsel. Tiga anggota yang terlibat dalam penangkapan telah diperiksa untuk memastikan tidak ada pelanggaran prosedur atau ekses berlebihan dalam tindakan penegakan hukum.

Dasar Hukum Tindakan Kepolisian

Tindakan tegas aparat dalam kondisi membahayakan diatur dalam sejumlah regulasi, antara lain:

  1. Pasal 45 ayat (1) dan (2) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang memberi kewenangan kepada Polri untuk menggunakan kekuatan secara bertingkat demi menjaga keamanan dan keselamatan masyarakat serta diri petugas.
  2. Peraturan Kapolri (Perkap) No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, yang menegaskan bahwa penggunaan senjata api harus memenuhi prinsip legalitas, nesesitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas.
  3. Kode Etik Profesi Polri (Perkap No. 7 Tahun 2022), yang menekankan bahwa setiap tindakan harus menjunjung nilai kemanusiaan dan keadilan sosial, sejalan dengan Tribrata dan Catur Prasetya Polri.

Namun demikian, penggunaan kekuatan mematikan hanya dibenarkan jika ancaman terhadap jiwa nyata dan segera (imminent threat). Jika korban terbukti mengalami gangguan jiwa, maka pendekatan medis dan kemanusiaan seharusnya menjadi langkah awal.

Aspek Psikologis Pelaku dan Korban

Dari sisi psikologis, Padli menunjukkan gejala gangguan psikotik menengah hingga berat, seperti delusi, disorganisasi perilaku, dan impulsivitas tinggi — hal yang lazim muncul pada individu yang mengalami trauma berat atau gangguan bipolar pascakapal.

Dalam kondisi tersebut, kemampuan menilai bahaya dan mengendalikan diri menurun drastis, sehingga setiap tindakan agresif sering kali bukan hasil kesadaran rasional.

Pelaku dalam kondisi ODGJ semestinya ditangani melalui pendekatan krisis mental (mental health crisis intervention), bukan tindakan militeristik.

Sementara dari sisi psikologis aparat, situasi lapangan yang cepat berubah dan ancaman terhadap keselamatan bisa memicu respon stres akut (acute stress response).

Hal ini sering menyebabkan pengambilan keputusan cepat yang berisiko fatal, terutama jika petugas tidak dilengkapi pelatihan de-escalation dalam menghadapi individu dengan gangguan jiwa.

Refleksi Kemanusiaan dan Tugas Polri

Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002 menegaskan tiga fungsi utama Polri:

  1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
  2. Menegakkan hukum;
  3. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Artinya, setiap tindakan tegas harus tetap dalam bingkai perlindungan dan kemanusiaan.
Sebagaimana tertuang dalam Tribrata Polri:

“Kami polisi Indonesia, berbakti kepada nusa dan bangsa dengan penuh ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan.”

Dan ditegaskan dalam Catur Prasetya:

“Menjadi pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat yang setia dan patuh kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Kini, publik menuntut transparansi dan evaluasi menyeluruh. Bukan untuk melemahkan institusi Polri, tetapi agar penegakan hukum tetap berpihak pada nilai kemanusiaan, terutama bagi warga yang rentan secara mental dan sosial.

“Tegas boleh, tapi harus waras — karena negara berdiri bukan di atas darah rakyat, tapi di atas nurani yang hidup,” ujar seorang aktivis kemanusiaan di Baturaja.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *