Prabowo: Hukum Jangan Jadi Alat Menindas! Tapi di Palopo, Putusan MA Tak Berlaku?

Opini, SalamWaras — Di tengah semangat Presiden RI H. Prabowo Subianto yang menegaskan bahwa “hukum tidak boleh menjadi alat untuk menindas rakyat kecil,” justru di Kota Palopo, wibawa hukum seolah dilecehkan.

Putusan Mahkamah Agung (MA) — yang semestinya menjadi hukum tertinggi — dikabarkan tak dijalankan sebagaimana mestinya. Publik pun bertanya:

Bacaan Lainnya

Apakah hukum kini hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas?

Di negeri hukum ini, rupanya ada wilayah yang merasa lebih tinggi dari Mahkamah Agung. Di Palopo, putusan tertinggi negara seolah kehilangan wibawanya.

Pertanyaannya sederhana namun mengguncang nurani: apakah putusan Mahkamah Agung kini sudah tak berlaku di Palopo?

Peristiwa pengusiran petugas Pengadilan Agama (PA) Palopo) pada Senin, 27 Oktober 2025, serta penahanan tiga ahli waris yang justru menang secara hukum, menjadi bukti nyata bahwa hukum bisa dipermainkan.

Di atas kertas, negara berdiri di atas hukum. Namun di lapangan, hukum bertekuk lutut pada kepentingan dan kuasa lokal.

Inkrah di Mahkamah Agung, Dipenjara di Palopo

Sengketa ini sejatinya telah tuntas di seluruh jenjang peradilan:

  1. Putusan PA Palopo Nomor 120/Pdt.2022/PA.Plp (6 Juli 2022)
  2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 276 K/Ag/2022 (13 April 2023)
  3. Penolakan PK oleh MA (2 Juli 2024)

Dengan demikian, putusan Mahkamah Agung tersebut telah inkrah — final dan mengikat secara hukum.

Namun tiga ahli waris, Ahmad Haring, Kusmawati H, dan Hj. Baeti Mega Hati, justru ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Palopo (20 Juni 2025) dan kini ditahan oleh Kejaksaan. Tuduhan mereka: melanggar Pasal 170, 406, dan/atau 167 jo 55 KUHP.

Ironisnya, empat pihak lain dalam kasus yang sama justru dibebaskan melalui restorative justice.

Keadilan di Palopo kini tampak tajam ke rakyat kecil, tumpul ke mereka yang berkuasa.

Benturan Kepentingan dan Bayangan Gelap Peradilan

Lebih mengejutkan, hakim ketua yang memimpin perkara pidana ini adalah orang yang sama yang sebelumnya menandatangani penetapan eksekusi lelang (20 Januari 2025).

Apakah mungkin seorang hakim bersikap netral dalam perkara yang bersinggungan dengan putusannya sendiri?

Ini bukan sekadar kejanggalan etik, tetapi pelanggaran serius terhadap prinsip independensi yudisial sebagaimana diatur dalam Perma No. 7 Tahun 2016 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).

Ketika hakim tak lagi berdiri di atas dua kaki yang seimbang, keadilan pun terjungkal oleh kepentingan.

Presiden, Ketua MA, Kapolri, dan Jaksa Agung Bicara Nurani Hukum

Presiden Prabowo Subianto dalam berbagai kesempatan menegaskan:

“Jangan biarkan hukum menjadi alat untuk menindas rakyat. Hukum harus menjadi perisai bagi yang lemah, bukan tameng bagi yang kuat.”

Namun di Palopo, sinyal moral itu seolah tak terdengar. Putusan Mahkamah Agung — lembaga tertinggi peradilan di negeri ini — tak dijalankan sebagaimana mestinya.

Ketua Mahkamah Agung RI pun pernah mengingatkan:

“Setiap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap wajib dijalankan tanpa tawar-menawar. Mengabaikannya sama saja dengan menodai marwah lembaga peradilan.”

Senada, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menegaskan agar aparat penegak hukum berhati-hati dalam mengambil keputusan yang menyangkut hak masyarakat.

“Kita tidak boleh salah langkah. Setiap tindakan penegakan hukum harus menjunjung keadilan substantif, bukan kepentingan sesaat.”

Sementara Jaksa Agung ST Burhanuddin menambahkan pesan tegas:

“Penegakan hukum yang tidak dilandasi hati nurani akan melahirkan ketidakadilan baru. Jaksa harus berani menegakkan hukum dengan integritas dan keadilan.”

Namun di Palopo, semua pesan luhur itu seolah hanya menjadi slogan kosong.
Apakah Palopo kini memiliki hukum versinya sendiri?

Rakyat Menjerit, Mahasiswa Bergerak

Kemarahan publik pun memuncak.
Pada 26 Oktober 2025, Gerakan Aktivis Mahasiswa (GAM) Luwu Raya turun ke jalan berunjuk rasa di depan Kejaksaan Negeri Palopo menuntut peninjauan ulang atas proses hukum yang dianggap janggal dan diskriminatif.

Mereka mengusung spanduk bertuliskan:

“Putusan Mahkamah Agung wajib dihormati! Jangan jadikan rakyat korban permainan hukum!”

Teriakan itu bukan sekadar emosi mahasiswa, tetapi jeritan nurani rakyat yang muak melihat hukum dijadikan topeng oleh mereka yang berkuasa.

Putusan Tak Berlaku, Nurani Pun Mati

Jika putusan Mahkamah Agung — lembaga tertinggi peradilan negara — tidak lagi dihormati di Palopo, maka bangsa ini menghadapi krisis legitimasi hukum.

Keadilan yang seharusnya menjadi mercusuar kini meredup di bawah bayang kekuasaan.

Hukum tanpa integritas hanyalah alat kekuasaan.
Dan kekuasaan tanpa keadilan hanyalah tirani berseragam resmi.

Keadilan Harus Pulang ke Rumahnya

Sidang perdana pada Kamis mendatang harus menjadi titik balik nurani hukum.
Jaksa Agung, Kapolri, dan Mahkamah Agung wajib turun tangan memeriksa dugaan penyimpangan dalam kasus ini.

Sebab bila semua diam, sejarah akan mencatat:

Palopo adalah tempat di mana putusan Mahkamah Agung kehilangan makna.

Salam Waras.
Hukum seharusnya melindungi, bukan menindas.
Keadilan bukan hadiah — tapi hak rakyat.
Hak yang harus diperjuangkan, bahkan ketika pengadilan menutup mata.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *