Sinjai, SalamWaras — Gelombang bencana tengah menghantam Kabupaten Sinjai. Bukan hanya bencana alam, tetapi juga krisis sosial, moral, dan kepemimpinan.
Dalam waktu berdekatan, publik disuguhi rentetan peristiwa yang mengguncang: mulai dari kasus tambang ilegal, penolakan terhadap rencana tambang emas PT Trinusa, kasus pembuangan bayi, hingga viral kasus pembakaran mobil dan dugaan perselingkuhan anggota DPRD Sinjai.
Belum lagi maraknya pencurian ternak (curnak) yang menambah deretan keresahan masyarakat.
Namun di tengah riuh kegelisahan itu, pemerintah dan lembaga perwakilan rakyat seolah berjalan dalam diam.
Ketua DPRD Kabupaten Sinjai, Andi Jusman, memang sempat menyampaikan apresiasi terhadap kesiapan tanggap bencana yang dilakukan oleh Polres Sinjai dalam apel kesiapsiagaan di Lapangan Mapolres Sinjai, Rabu (5/11/2025) pagi, yang dipimpin oleh Waka Polres Kompol Tamar.
Di saat aparat bersiaga menghadapi ancaman alam, publik menuntut kesigapan menghadapi bencana etika dan kepemimpinan.
Salah satu isu paling disorot adalah rencana tambang emas PT Trinusa yang sejak awal ditolak berbagai pihak — mulai dari MUI, APDESI, hingga masyarakat sipil dan aktivis lingkungan.
Namun hingga kini, tidak ada tanggapan terbuka dari Bupati maupun Ketua DPRD Sinjai, seolah aspirasi rakyat hanya menjadi gema di ruang hampa.
Aktivis lingkungan Dzoel SB menilai, diamnya para pemimpin daerah terhadap berbagai persoalan itu adalah bentuk “pepe” — bisu dalam tanggung jawab, lembut di luar tapi lemah dalam prinsip.
“Sinjai bukan hanya menghadapi bencana alam. Ada bencana sosial dan moral yang tak kalah berbahaya. Saat rakyat bertahan dengan adat dan budayanya, para pemimpin justru seperti kehilangan kompas,” tegasnya.
Refleksi Spiritual: Ketika Tangan Manusia Menimbulkan Kerusakan
Dalam pandangan Dzoel SB, segala bentuk kerusakan — baik lingkungan, sosial, maupun moral — bukan semata fenomena duniawi, melainkan peringatan ilahi agar manusia kembali pada jalan yang benar.
Ia mengutip Surah Ar-Rum ayat 41, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Serta Surah Al-Maidah ayat 65, “Allah berkuasa mengirim azab dari atas atau bawah. Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami(nya).”
Ayat-ayat ini, menurutnya, adalah cermin bagi kondisi Sinjai hari ini — di mana kerusakan tidak hanya datang dari alam, tapi juga dari perilaku dan keputusan manusia yang jauh dari nurani.
Butta Panrita Kitta: Antara Adat, Agama, dan Harga Diri
Roh Sinjai sebagai Butta Panrita Kitta — tanah para ulama dan orang berilmu — seharusnya hidup dalam dua semangat besar:
“Rohnya Butta Panrita Kitta” (semangat keagamaan dan keilmuan Islam) dan “Siri’ Na Pacce” (falsafah harga diri dan solidaritas).
Keduanya adalah pilar yang saling menguatkan dalam budaya Sinjai:
Nilai Etika yang Terinternalisasi: Nilai-nilai Islam yang dibawa oleh para Panrita Kitta memperkuat dan memberikan landasan spiritual pada etika Siri’ Na Pacce. Ajaran Islam tentang menjaga kehormatan diri, menegakkan keadilan, dan tolong-menolong sejalan dengan prinsip Siri’ Na Pacce.
Identitas Kultural dan Spiritual: Masyarakat Sinjai dikenal menjunjung tinggi ilmu agama sekaligus memegang teguh adat dan martabat. Identitas ini membentuk jati diri sosial yang berakar pada rasa malu (siri’) dan empati (pacce).
Kesatuan Moral: Keduanya menciptakan fondasi moral di mana perilaku seseorang tidak hanya digerakkan oleh tekanan sosial, tetapi juga oleh kesadaran iman dan tanggung jawab spiritual.
Untuk Para Pemimpin
Dzoel SB mengingatkan, Sinjai bukan sekadar tanah subur dan religius — ia juga tanah ujian.
“Jika moral pemimpin rapuh, maka murka alam dan sosial adalah keniscayaan. Sebab di tanah Panrita Kitta, yang dijaga bukan hanya harta dan jabatan, tapi kehormatan dan nurani,” ujarnya menutup pernyataan.
Kini Rakyat menunggu,
Apakah pemerintah dan DPRD Sinjai akan benar-benar siaga terhadap segala bentuk bencana — alam, sosial, dan moral — atau justru menjadi penonton di tengah murkanya Butta Panrita Kitta yang kehilangan arah.




