Desa Jadi Kurir Pusat? Sorotan Menguat atas SKB Lima Menteri Soal Koperasi Merah Putih

Makassar, SalamWaras —
Keputusan Bersama (SKB) lima menteri dan dua kepala badan negara tentang Percepatan Pembangunan Fisik Gerai, Pergudangan, dan Kelengkapan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih menuai sorotan tajam dari kalangan pemerhati desa dan kepala desa di berbagai daerah.

Dalam SKB bernomor 1/SKB/M.KOP/2025 hingga SKB.08/DI-BP/X/2025 itu, seluruh mekanisme pembangunan koperasi desa diatur secara terpusat, termasuk pendanaan, kontrak kerja, hingga desain gerai yang wajib mengacu pada PT. Agrinas Pangan Nusantara (Persero) — BUMN yang ditunjuk langsung sebagai pelaksana pembangunan.

Bacaan Lainnya

Langkah ini disebut sebagai implementasi Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025 tentang percepatan pembentukan Koperasi Merah Putih. Namun di balik semangat swasembada dan pemerataan ekonomi, muncul kegelisahan di akar rumput.

“Desa seperti kurir saja, semua diatur pusat. Kami hanya disuruh tanda tangan dan menyiapkan lahan,” sindir salah satu kepala desa di Sulawesi Selatan kepada Salam Waras, Kamis (30/10/2025).

Kemandirian Desa Terancam

Sejumlah pihak menilai, SKB ini berpotensi menggerus semangat otonomi desa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang menempatkan desa sebagai subjek pembangunan, bukan sekadar pelaksana kebijakan pusat.

Kritik menguat karena peran desa dalam keputusan ini cenderung administratif — mulai dari menyediakan lahan, menandatangani kontrak dengan PT. Agrinas, hingga mengalokasikan Dana Desa untuk membayar proyek fisik koperasi yang sudah ditentukan desain dan pelaksananya dari pusat.

“Di atas kertas ini kolaborasi, tapi di lapangan bisa jadi sentralisasi. Desa kehilangan ruang untuk berkreasi dan menentukan arah pembangunan ekonominya,” ujar salah satu aktivis koperasi rakyat di Makassar.

BUMN Jadi Pemegang Kendali

SKB tersebut juga menugaskan Badan Pengaturan BUMN dan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPIDAN) untuk menunjuk PT. Agrinas Pangan Nusantara (Persero) sebagai koordinator utama pembangunan fisik gerai dan pergudangan koperasi di seluruh Indonesia.


Langkah ini memicu tanya: apakah pembangunan ekonomi desa kini harus bergantung penuh pada korporasi pelat merah?

Asta Cita dan Realitas Lapangan

Dalam konsiderans, pemerintah menegaskan SKB ini merupakan turunan dari Asta Cita Presiden Prabowo Subianto — khususnya cita kedua tentang swasembada pangan dan cita keenam tentang pembangunan dari desa.

Namun sejumlah kalangan menilai, semangat membangun dari desa berubah arah menjadi mengarahkan desa dari pusat.

“Kalau semua dikelola dari atas, di mana ruang inovasi dan gotong royong warga desa? Jangan sampai koperasi desa hanya jadi papan nama untuk proyek pusat,” tambah sumber lain dari jaringan koperasi rakyat Sulsel.

Transparansi Jadi Kunci

Meski program ini membawa potensi besar untuk pemerataan ekonomi nasional, publik mendesak agar pelaksanaannya diawasi secara ketat agar tidak menimbulkan tumpang tindih, penyalahgunaan dana, atau monopoli proyek.
Penggunaan Dana Desa dan Dana Alokasi Umum (DAU) untuk proyek yang dikontrak langsung dengan BUMN memerlukan transparansi ekstra.

Program Koperasi Desa Merah Putih idealnya menjadi simbol kemandirian rakyat, bukan alat birokrasi untuk memperkuat sentralisasi ekonomi.

“Membangun desa harus dimulai dari kepercayaan pada desa itu sendiri — bukan dari instruksi pusat,” tulis seseorang yang engga disebut namanya dalam catatan Salam Waras.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *