VOC Ganti Kulit?, SKB Lima Menteri Soal Koperasi Merah Putih Disorot!

Salam Waras, Makassar — Empat abad lalu, VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) datang membawa bendera dagang dan niat manis: memajukan perdagangan dan kesejahteraan bersama. Namun sejarah mencatat, di balik niat itu terselip cakar kekuasaan.

VOC bukan sekadar perusahaan — ia adalah negara bayangan yang memungut pajak, memiliki tentara, dan mengatur hukum di tanah orang.
Dagang dijadikan dalih, kuasa menjadi tujuan.

Bacaan Lainnya

Kini, abad ke-21, bayangan itu menampakkan diri dengan wajah baru.
Nama berganti, jargon berubah, tapi pola penguasaan tetap sama: rakyat dan desa menjadi alat, perusahaan menjadi pusat.

Kali ini, ia bernama PT Agrinas Pangan Nusantara (Persero) — perusahaan pelat merah di bawah Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPIDAN) — yang mendapat mandat melalui SKB Lima Menteri untuk mengurus Koperasi Merah Putih.

Bedanya, dulu VOC datang dari Belanda.
Sekarang, “VOC baru” lahir dari negeri sendiri — bertopeng nasionalisme dan program rakyat.

Desa Jadi Kurir, Otonomi Tinggal Slogan

Ketua APDESI Kabupaten Sinjai, Andi Azis Soi, mengaku heran sekaligus resah.

SKB Lima Menteri tentang percepatan pembangunan Gerai, Pergudangan, dan Kelengkapan Koperasi Merah Putih justru menyingkirkan desa dari posisi pengambil keputusan.

“Desa seperti kurir saja. Semua diatur pusat. Kepala desa hanya disuruh siapkan lahan dan tanda tangan. Kami tidak tahu nilai kontraknya, pelaksananya, atau mekanismenya. Kalau begini, otonomi desa tinggal slogan,”
— tegas Andi Azis Soi, Rabu (30/10/2025).

Pusat pegang kendali, desa kehilangan peran.
Dana desa yang seharusnya memperkuat kemandirian justru diarahkan untuk proyek raksasa yang dikomandoi dari Jakarta.
Kepala desa menanggung beban tanpa kuasa — terjebak di antara instruksi dan ketidakjelasan.

Potensi Penyimpangan dan Pelanggaran Prinsip Hukum

Dari sudut pandang hukum, kebijakan yang menunjuk satu perusahaan pelat merah sebagai pelaksana tunggal program nasional tanpa mekanisme kompetitif dan transparan berpotensi melanggar konstitusi serta asas tata kelola pemerintahan yang baik.

  1. Pasal 33 UUD 1945 — Perekonomian disusun atas asas kekeluargaan, bukan monopoli korporasi.
  2. UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa — Menjamin prakarsa lokal, bukan perintah sentral.
  3. UU No. 5 Tahun 1999 — Melarang monopoli dan praktik usaha tidak sehat.
  4. Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah — Menegaskan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik.

“Kalau semua diserahkan ke perusahaan, sementara desa hanya pelaksana, itu bukan partisipasi. Itu subordinasi,”
— ujar seorang pengamat kebijakan publik di Makassar.

Amanat Presiden Prabowo Dikhianati?

Presiden Prabowo Subianto dalam berbagai pidato menegaskan, negara tidak boleh tunduk pada penguasa modal.

“Negara tidak boleh dikuasai oleh segelintir orang. Pemerintah harus melindungi rakyat kecil — petani, nelayan, dan kepala desa — dari permainan korporasi. Kita tidak boleh jadi pelayan oligarki.”
— Pidato Pelantikan Presiden, Oktober 2024.

Dan dalam Rakernas Desa 2025, Prabowo menegaskan kembali:

“Dana desa harus memperkuat rakyat di bawah, bukan memperkaya kontraktor. Kepala desa jangan hanya jadi pelaksana, tapi pemimpin sejati yang menentukan arah pembangunan.”

Namun realitas hari ini menunjukkan sebaliknya.
Yang tumbuh bukan kemandirian desa, melainkan ketergantungan baru — berseragam BUMN, berwajah birokrasi, berjiwa korporasi.
Amanat Presiden dibelokkan menjadi proyek, bukan pengabdian.

APDESI: Tak Anti Program, Tapi Tolak Pemusatan

Andi Azis Soi menegaskan, APDESI Sinjai tidak menolak visi besar Presiden Prabowo.
Yang ditolak adalah pemusatan kekuasaan yang menghapus hak musyawarah desa.

“Kami dukung visi Presiden membangun dari desa. Tapi bukan dengan cara menghapus suara kami. Kalau semua dikontrol PT Agrinas, untuk siapa otonomi desa ini dibuat?”
— pungkas Andi Azis Soi.

Salam Waras: Negara Jangan Jadi Korporasi

Negara tidak boleh kehilangan akal sehatnya.
BUMN bukan alat penguasa — ia pelayan rakyat.
Desa bukan bawahan birokrasi — ia subjek pembangunan.

Jika pusat terlalu dominan, jika desa kehilangan hak mengatur, maka yang tumbuh bukan kemajuan — melainkan kolonialisme baru berbungkus pembangunan.

Waraslah Indonesia.
Jangan biarkan nama “Merah Putih” dipakai untuk menutupi monopoli.
Karena negeri ini bukan ladang proyek, tapi rumah bersama yang harus dijaga akal sehatnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *