SalamWaras, Bangka — Rapat Dengar Pendapat (RDP) gabungan Komisi I, II, dan III DPRD Kabupaten Bangka bersama pihak terkait akhirnya menghasilkan delapan poin penting kesepakatan untuk menyelesaikan polemik tambang di wilayah Kepala Burung.
RDP yang digelar pada Senin, 3 November 2025, di ruang rapat paripurna DPRD Bangka, dihadiri Sekda Kabupaten Bangka, Forkopimda, perwakilan PT. Timah, kepala desa terdampak, serta sejumlah camat.
Aspirasi Penambang: “Timah Ambil, Tapi Adil”
Pasca RDP, salah satu perwakilan penambang yang enggan disebutkan namanya menyampaikan pesan kepada awak media:
“Pada intinya masyarakat penambang tidak keberatan timah diambil oleh pihak CV, cuma dengan adil. Jangan samakan tambang sebu dan tambang darat, karena pada dasarnya TI sebu itu mencari timahnya meraba, tidak seperti mesin dompeng yang sudah di-stok tanahnya oleh PC,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa sistem blok tidak bisa diterapkan sama rata:
“Tambang sebu tidak bisa bekerja dengan aturan patok per blok, karena tidak semua lokasi itu ada timahnya. Kalau mengambil timah, tolong juga langsung dibayar, karena masyarakat perlu uang untuk membeli ransum dan melanjutkan kerja besoknya. Tambang sebu dan tambang darat beda kekuatan modal,” jelasnya.
Namun, laporan lapangan menunjukkan masih terjadi pemotongan hasil produksi di pos penimbangan, baik pada TI jenis sebu maupun dongfeng, yang dilakukan panitia lokal.
“Selain harga timah yang belum layak, pemotongan hasil di pos penimbangan sangat memberatkan para penambang,” ujar sumber tersebut.
Delapan Poin Kesepakatan RDP
DPRD Kabupaten Bangka menegaskan seluruh pihak wajib menjalankan kesepakatan berikut:
- Pembentukan tim kerja menyelesaikan permasalahan tambang Kepala Burung, terdiri dari Forkopimda, DPRD, Pemkab Bangka, PT. Timah, dan kepala desa.
- Sistem ganti rugi tanaman tumbuh bagi masyarakat terdampak.
- Penghapusan monopoli aktivitas tambang oleh mitra PT. Timah.
- Kepastian pembelian hasil timah di lapangan antara penambang dan mitra PT. Timah.
- Pemberian kontribusi bagi desa terdampak yang tidak memiliki kegiatan tambang.
- Pembentukan tim pengawas kegiatan pertambangan.
- Pelibatan delapan desa terdampak dalam panitia pengawasan tambang.
- Penghentian sementara aktivitas tambang sampai seluruh poin kesepakatan dijalankan.
Kesepakatan ini ditandatangani oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Bangka, Ketua dan Wakil Ketua DPRD Bangka, perwakilan PT. Timah, Kapolres Bangka, Dandim 0413/BKA, para camat, dan kepala desa terdampak.
Delapan desa yang terlibat adalah Bukit Layang, Puding Besar, Kayu Besi, Sempan, Mabat, Mangka, Bakam, dan Dalil.
UU dan Regulasi yang Relevan
Kasus ini berkaitan erat dengan UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba):
Pasal 35: Penetapan wilayah pertambangan wajib melibatkan masyarakat terdampak.
Pasal 50: Setiap perusahaan pertambangan harus mengelola lingkungan dan memberdayakan masyarakat.
Pasal 108: Menjamin kepastian pembelian hasil tambang, mencegah monopoli yang merugikan masyarakat lokal.
Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 menekankan hak masyarakat untuk:
- Mendapat ganti rugi tanaman tumbuh.
- Terlibat dalam pengawasan partisipatif kegiatan pertambangan.
Amanat dan Pesan Prabowo Subianto
Menyikapi polemik ini, Menteri Pertahanan sekaligus tokoh nasional Prabowo Subianto memberikan amanat:
“Pemerintah dan semua pihak harus mengedepankan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Jangan ada monopoli, jangan ada praktik yang merugikan warga, dan pastikan pengelolaan tambang mengikuti aturan hukum yang berlaku.”
Prabowo menegaskan bahwa keterlibatan aktif masyarakat dalam pengawasan dan pembagian hasil tambang yang adil merupakan prinsip penting untuk menjaga stabilitas sosial dan ekonomi di daerah.
Momentum Meredam Konflik
RDP ini menjadi momentum penting untuk meredam ketegangan, menegaskan komitmen semua pihak terhadap keadilan, keterbukaan, dan kesejahteraan masyarakat penambang.
“Kalau semua poin dijalankan, kami bisa bekerja dengan aman dan adil,” ujar salah satu kepala desa terdampak.




