Diduga Dua Bersaudara Asal Makassar Korban Aparat Keparat?, KOBAR Ajukan Gugatan Pra Peradilan!

Makassar, Salam Waras — Dua buruh harian lepas asal Makassar, Randi dan Rian, kini tengah memperjuangkan keadilan atas apa yang mereka sebut sebagai “malam penyiksaan dan salah tangkap.”

Bersama tim hukum Koalisi Bantuan Hukum Rakyat (KOBAR) Makassar, mereka resmi mengajukan gugatan pra peradilan terhadap Polda Sulsel atas dugaan penangkapan dan penahanan tidak sah.

Bacaan Lainnya

Randi dan Rian adalah saudara kandung, tinggal bersama orang tua dan adiknya, Rama, di rumah kos sederhana di Jalan Rappocini.

Mereka hidup pas-pasan — tanpa sekat kamar, tanpa kemewahan, hanya ruang sempit yang cukup untuk berteduh setelah seharian bekerja sebagai buruh bangunan.

Namun, pada malam 2 September 2025, ketenangan itu direnggut paksa. Sejumlah orang berseragam mengetuk keras pintu mereka.

“Bangun! Kau Rian? Kau Randi? Kau Rama?” teriak salah satu petugas, sebelum akhirnya mereka diseret tanpa surat perintah, tanpa penjelasan.

Ibu mereka, Kamsida, yang menyaksikan langsung kejadian itu, hanya bisa menangis — berlari dari satu pos polisi ke pos lain, mencoba mencari tahu di mana anak-anaknya ditahan. Dari Rappocini hingga Hertasning, langkahnya tak berbuah kepastian.

Penyiksaan di Balik Dinding Polisi

Rian mengaku mengalami kekerasan berat selama interogasi. Ia dipukul di perut, kepalanya dihantam, kakinya dipukul dengan batu, bahkan dipaksa melakukan posisi “split” sementara bagian belakang tubuhnya diinjak petugas.

“Saya dengar azan subuh dari masjid. Saat itu saya tahu, penyiksaan sudah berlangsung berjam-jam,” ungkap Rian lirih.

Hal serupa dialami Randi. Ia mengaku ditempeleng, ditindih, dan dipukul hingga terpaksa mengaku melempar batu ke gedung DPRD Sulsel — padahal malam itu ia sedang bersama pacarnya di Centre Point of Indonesia.

Sementara itu, Rama, adik mereka, yang juga sempat ditangkap, akhirnya dibebaskan. Polisi beralasan Rama tidak terlibat karena tidak tergabung dalam grup WhatsApp yang digunakan oleh Randi dan Rian.

Surat Datang Setelah Siksa Datang

Baru pada 3 September dini hari, polisi menyerahkan dua amplop berisi Surat Penangkapan dan Penahanan atas nama Randi dan Rian.

Dalam surat itu, keduanya disangkakan melanggar Pasal 187 ayat (1) ke-3 subs Pasal 170 ayat (1) subs Pasal 406 jo. Pasal 64 KUHP berdasarkan LP/B/870/IX/2025/SPKT Polda Sulsel tertanggal 1 September 2025.

Namun, bagi keluarga dan tim hukum, surat itu hanyalah bentuk pembenaran atas kesewenangan yang telah terjadi.

“Surat datang setelah anak-anak disiksa. Bukti mana yang bisa membenarkan kekerasan terhadap rakyat kecil seperti mereka?” tegas salah satu kuasa hukum KOBAR Makassar.

Perlawanan Dimulai: Melawan Kesewenangan!

Kini, Randi dan Rian masih ditahan di Dit Tahti Polda Sulsel. Namun mereka tidak tinggal diam.
Melalui Koalisi Bantuan Hukum Rakyat Makassar, mereka melawan balik lewat jalur hukum.

Gugatan pra peradilan resmi didaftarkan dan dijadwalkan disidangkan pada 3 November 2025 di Pengadilan Negeri Makassar.

“Kami ingin menguji sah atau tidaknya penetapan tersangka, penangkapan, dan penahanan terhadap Randi dan Rian. Prosedur dilanggar, bukti permulaan tak cukup, dan penyiksaan tidak bisa dibenarkan dalam negara hukum!” tegas salah satu pengacara KOBAR.

Salam Waras: Di Negeri Hukum, Keadilan Tak Boleh Dipukul

Kasus Randi dan Rian membuka kembali luka lama: bagaimana rakyat kecil sering dijadikan kambing hitam dalam kasus besar. Di negeri yang katanya menjunjung hukum, justru rakyat miskin yang paling mudah disalahkan.

Presiden Prabowo Subianto pernah menegaskan,

“Hukum tidak boleh menjadi alat untuk menindas rakyat kecil.”

Tapi di Makassar, dua buruh lepas kini meringkuk di balik jeruji — bukan karena mereka bersalah, tapi karena mereka tak punya kuasa melawan keparat yang berseragam.

Salam Waras menegaskan:
Negara tak boleh buta, tuli, dan bisu saat keadilan dipukul di ruang gelap.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar