GAM Tantang Kajati Baru, Hukum Jangan Jadi Alat Menjerat Rakyat!

Makassar, SalamWarasKetika hukum kehilangan arah, mahasiswa turun bukan untuk melawan negara — tapi untuk menyelamatkan akal sehat bangsa. Senin (27/10/2025.

Begitulah makna yang tergambar dari aksi damai Gerakan Aktivis Mahasiswa (GAM) di depan Kantor Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Jalan Urip Sumoharjo, Makassar,

Bacaan Lainnya

Mereka datang bukan dengan amarah, tapi dengan seruan nurani: menolak dugaan rekayasa hukum dan kriminalisasi tiga ahli waris tanah di Palopo — BM, KM, dan AH — yang kini ditahan atas sangkaan Pasal 170 ayat (1) KUHP dan/atau Pasal 167 KUHP.

Kasus ini telah masuk tahap II (P-21) di Kejaksaan Negeri Palopo, namun dinilai banyak pihak sarat kejanggalan dan aroma penyalahgunaan wewenang.

Spanduk Moral di Jalan Urip: “Kajati Baru Harus Berani!”

Sekitar pukul 01.00 Wita, jalan utama Makassar berubah menjadi panggung keadilan rakyat.
Mahasiswa membentangkan spanduk bertuliskan:

“KAJATI BARU HARUS BERANI! BERSIHKAN KEJARI PALOPO DARI PRAKTIK PENYALAHGUNAAN WEWENANG!”

Aksi ini memacetkan arus lalu lintas, tapi justru membuka ruang bagi kesadaran publik — bahwa hukum tak boleh dipasung oleh kepentingan kekuasaan.

Tiga tuntutan utama disuarakan dengan tegas:

  1. Mendesak Kejati Sulsel mengevaluasi proses penanganan perkara No. LP/BP163/III/2023/SPKT/POLRES PALOPO.
  2. Mendorong supervisi langsung Kejati Sulsel terhadap Kejari Palopo.
  3. Menuntut pencopotan Kajari dan Kasi Pidum Palopo bila terbukti melanggar etik dan asas profesionalitas.

Akmal Yusran: Ini Soal Moralitas Hukum, Bukan Sekadar Pasal

Jenderal Lapangan GAM, Akmal Yusran, menyebut aksi ini bukan sekadar unjuk rasa, tetapi seruan moral terhadap matinya keadilan substantif.

“Kami kecewa terhadap Kejari Palopo yang kami nilai tidak profesional. Ada indikasi kriminalisasi terhadap warga yang sah memiliki hak atas tanahnya. Ini bukan soal pasal, tapi soal hati nurani hukum yang sedang diuji,” tegas Akmal.

Ia menambahkan, hukum yang kehilangan moralitasnya akan berubah menjadi alat penindasan.

“Ketika aparat hukum menutup mata dari nurani, maka rakyatlah yang menjadi korban tafsir kaku peraturan,” pungkasnya.

La Ode Ikra Pratama: Hukum Harus Melindungi, Bukan Menjerat

Panglima GAM, La Ode Ikra Pratama, dalam orasinya menegaskan bahwa hukum sejatinya diciptakan untuk melindungi rakyat, bukan menjeratnya.

“Hukum seharusnya menjadi pelindung, bukan alat untuk menjerat. Dugaan kriminalisasi terhadap tiga ahli waris tanah di Palopo adalah bukti hukum telah menjauh dari rasa keadilan,” ujarnya lantang.

Ia menantang Kajati Sulsel yang baru dilantik 23 Oktober 2025 agar berani membersihkan lembaganya dari oknum yang mencederai nama Adhyaksa.

“Kajati baru harus berani! Jangan biarkan nurani hukum di Sulawesi Selatan mati di tangan pejabat yang menyalahgunakan kewenangan,” seru La Ode Ikra.

Kejati Sulsel: Akan Evaluasi Jika Ada Pelanggaran Etik

Menanggapi aksi tersebut, Kasi Penkum Kejati Sulsel, Soetarmi, S.H., menyatakan bahwa pihaknya akan melakukan evaluasi apabila ditemukan pelanggaran etik oleh jaksa di Kejari Palopo.

“Kami akan melakukan evaluasi jika terbukti ada pelanggaran etik atau prosedural dalam penanganan perkara ini,” ujarnya di hadapan massa.

Ia menambahkan, bahwa perkara tersebut telah dilimpahkan ke pengadilan dan sidang perdananya dijadwalkan berlangsung Kamis, 30 Oktober 2025.

Suara Nurani Jaksa Agung: Keadilan Tidak Ada di Dalam Buku

Di tengah derasnya kritik terhadap moralitas hukum, pesan Jaksa Agung RI, ST Burhanuddin, kembali menggema sebagai pengingat mendalam bagi seluruh insan Adhyaksa.

Dalam arahannya, Jaksa Agung berpesan agar setiap jaksa selalu mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan dalam setiap penyelesaian perkara.

Menurutnya, keadilan sejati tidak bisa dicari di halaman buku, tetapi hanya bisa ditemukan di dalam hati nurani.

“Keadilan itu ada di dalam hati nurani, tidak ada di dalam buku. Untuk itu, setiap kita mengambil keputusan, tanyalah kepada hati nuranimu, agar terjawab rasa keadilan yang diharapkan masyarakat,” ujar Jaksa Agung ST Burhanuddin.

Pernyataan itu kini menjadi kompas moral yang seharusnya menuntun setiap jaksa dan aparat hukum — bahwa menegakkan keadilan tanpa hati sama saja dengan menegakkan kebenaran tanpa jiwa.

Salam Waras: Ketika Nurani Diuji oleh Kekuasaan

Kasus Palopo bukan sekadar perkara tiga warga, tapi ujian bagi sistem hukum nasional: apakah hukum masih berpihak pada keadilan, atau hanya pada kekuasaan.

Pasal 3 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI jelas menegaskan:

“Jaksa wajib menjunjung tinggi hukum, kebenaran, dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Namun, ketika asas Ketuhanan ditinggalkan dalam praktik, yang tersisa hanyalah prosedur tanpa jiwa.

Maka Salam Waras hari ini mengetuk batin setiap insan hukum di negeri ini:
Jangan biarkan keadilan dikubur oleh birokrasi.
Karena nurani yang mati lebih berbahaya dari pasal yang salah tafsir.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar